Sabtu, 26 November 2011

One Year Later (English Translate) - Onew SHINee feat Jessica SNSD

It feels like I’ve been dreaming for a long time
I’ve wandered and wandered around for a while
As if we made a promise
Standing here in front of each other like that day from four seasons ago
Those beautiful stories that we wrote down together
Those eternal promises that we prayed for at that time
They’re all coming back to me now and I don’t think my heart can take it
I’ve even restrained myself at the thought of you
How has your one year been

For a long time, I’ve been living, having forgotten of you
For a while, I thought I was doing fine
However I started to realize it as time passed by
That I am nothing without you
At that time, if only we had been a bit more mature
If only we knew how we would be right now
I have no confidence in overcoming these endless regrets
So I’ve had to just repress them
One year has passed like that

Could your feelings perhaps be the same as mine?
Will you give me another chance?
I know now that we can never part from each other
The one person I love and love again

I wish we can go back to our first days
To the beautiful, happy and loving days
Those heart-breaking stories and vain arguments
Just bury all of that now
And promise that we won’t take them out again
No matter how many seasons pass and how many years go by
I hope that we won’t meet like today again

Please Don't Go chapter 2

*drum roll*
AKHIRNYAAAAA! chapter ke 2 jadi jugaaak XD di chapter ini menurut author banyak part sad nyaaa. kenapa? emang genre nya gitukan? :p okedeh, check this out!

********************
Sesuai janjinya dengan dokter Minho, Kibum kembali ke rumah sakit. Awalnya Jonghyun bersikeras untuk ikut. Namun Kibum mengingatkan untuk tidak meninggalkan pekerjaan penting hyungnya itu.

“Silahkan masuk,” suster yang sama seperti kemarin, kembali menyapa dan mempersilahkan Kibum masuk.

“Ah, Kibum-ssi! Silahkan duduk,” setelah dipersilahkan duduk, Kibum mendaratkan bokongnya ke kursi hijau yang sama.

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik, dokter.”

“Yak, kita mulai sekarang?”

“Silahkan,”

Dokter Minho kembali mengeluarkan alat perekam dan memencet tombol merah. Dan mulai menggenggam pena di tangan kanannya, bersiap mencatat sesuatu di atas kertas berisi tulisan yang Kibum tak pahami.

“Baiklah, tolong beritahu aku tanggal berapa sekarang?”

“Eumm.. tanggal… ah haha, aku selalu kesulitan dalam mengingat tanggal.” Kibum terkekeh kecil, mengingat kejadian saat ulang tahun Bunnynya.

“Itu sebabnya kau telat satu hari dari perjanjian kita, Kibum-ssi.”

“Ehehe.. mian,” (maaf)

“Hm, baiklah. Apa kau punya adik atau kakak?” kata dokter Minho sambil mencatat sesuatu dalam kertasnya.

“Aku punya seorang hyung,” (aku punya seorang kakak laki-laki)

“Berapa usianya?”

“Eumm.. dua puluh tiga..ah anio! Dua puluh dua! Yak, aku buruk soal perhitungan.” ucap Kibum polos. (Eumm.. dua puluh tiga..ah bukan!)

“Kalau begitu beritahu aku tanggal lahirnya,”

“Eh? Eumm.. empat belas? Ah, aniooo! Itu ulang tahun Bunny. Eumm…” Kibum menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Bisakah?” tanya dokter Minho memastikan.

“Aku…” tiba-tiba pikiran Kibum melayang. Ia tidak dapat mengingat apa-apa dalam satu menit.

“Kibum-ssi, apa kau melamun?”

“Anio, aku…”

“Jika mobil berhenti di jalan raya, maka lampu lalu lintas berwarna apakah yang menyala?”

“Pertanyaan macam apa ini, dokter?” Kibum semakin bingung.

“Sstt.. jawab saja pertanyaanku.”

“Bisa tolong diulang pertanyaanmu?”

“Dengan sebutan apa kau memanggil ibu dari sepupumu?”

“Eoh? Itu…” “Berapa satu ditambah dua?”

“Eumm…” sejenak, segenap pertanyaan itu membuat pikiran Kibum melayang. Ia tidak dapat mencerna apapun.

Kibum mengacak rambut white blonde nya, seakan frustasi dengan pertanyaan yang terus menusuk-nusuk otaknya.

“Eumm.. dokter, bisakah kau katakan.. apa yang sebenarnya terjadi padaku?”

Dokter Minho menghentikan sejenak aktifitas menulisnya. Ia menatap Kibum lekat-lekat, seperti ada sesuatu super penting yang ingin ia katakan.

“Jadi.. sedikit ada gangguan salam saraf pengingatmu. Sehingga kau menjadi.. yah, kau tahu kan? Mungkin ini faktor.. eumm..keturunan atau…”

“Atau apa dok? Aku.. tidak mengerti. Bisa tolong jelaskan lebih jelas dan perlahan?” Dokter Minho menghela nafasnya sejenak.

“Setelah serangkaian tes dan hasil scan yang kau lakukan seminggu lalu dan hari ini, sebenarnya anda.. anda menderita penyakit Alzheimer.” terlihat wajah dokter Minho yang tidak enak hati menyampaikan berita ini pada Kibum.

“Al..Al..Alz.. apa, dok?” “Alzheimer,”

“Apa itu? Semacam penyakit kelelahan kah?”

“Jeongmal anio. Bukan penyakit simple seperti itu,” (sama sekali bukan)

“Ma..maksud dokter?”

“Eumm.. ingatanmu dengan perlahan akan terhapus sedikit demi sedikit, Kibum-ssi.”

“Mwo?! Usiaku masih dua puluh tahun! Bagaimana bisa?!” (apa?!)

Dokter Minho diam, menarik nafas panjang sambil menutup matanya perlahan, lalu sedetik kemudian membukanya. Menatap Kibum dengan pandangan yang makin serius.

“Kibum-ssi, apa kau punya pekerjaan?”

“Anio, aku seorang mahasiswa.”

“Kalau begitu segera tinggalkan kuliahmu. Tidak akan lama lagi kau akan cepat melupakan pelajaran yang bahkan baru dosenmu sampaikan satu menit sebelumnya, kau akan kesulitan menerima telepon ataupun menulis pesan singkat. Bahkan kegiatan sehari-haripun kau akan kesulitan sendiri. Perlahan.. kau akan melupakan keluargamu, temanmu, kekasihmu, bahkan yang lebih fatal, kau bisa melupakan dirimu sendiri. Sedikit demi sedikit, semua ingatanmu.. akan terhapus secara sempurna.”

“Jadi..jadi..aku akan lupa ingatan? Begitu?”

“Maafkan aku Kibum-ssi,”

“Tapi, pasti ada cara untuk menyembuhkan penyakit ini kan? Beritahu aku apa obatnya, dok! Kumohon!!!”

“Obat-obatan hanya dapat memperlambat proses penghapusan ingatanmu, tapi tidak dapat menghilangkan proses penghapusan tersebut. Maaf, jeongmal mianhae.”

“Lalu bagaimana dengan operasi? Pasti bisa kan dok?!”

Dokter Minho terdiam agak lama. Menatap namja cantik menyedihkan dihadapannya ini dengan mimik wajah seolah tidak ingin membuatnya lebih menyedihkan.

“Maaf, belum ada untuk..alzheimer. Maafkan aku Kibum-ssi,”

Sejenak, Kibum tidak bisa memikirkan apapun. Dadanya terasa sesak, seperti ada sembilu besar yang menghantam jantungnya. Wajahnya terasa panas, matanya pun terasa ingin meleleh. Kibum menundukkan kepala sambil terus menjambaki rambut white blode nya. Hingga lelehan cairan hangat yang turun dari pelupuk mata Kibum tidak lagi dapat dihentikan, dan terus membasahi pipi tirusnya yang mulai memerah. Yang jelas bukan memerah seperti saat pertemuan pertamanya dengan Jinki. Jinki. Kibum teringat oleh Jinki. Bagaimana dengan Bunnynya nanti? Jinki oh Jinki~

**
Kibum mulai keluar dari rumah sakit dengan perasaan sedih tingkat maksimal sekaligus bingung. Ini benar-benar diluar dugaannya. Bagaimana bisa ingatannya akan terhapus? Bagaimana bisa ia akan benar-benar melupakan kenangan indah bersama Bunnynya? Langkah kaki Kibum sudah seperti orang mabuk yang terhuyung-huyung. Terik matahari begitu menyegat kepalanya.

Nyuut!

Rasanya sakit. Mata Kibum terasa berat dan kakinya tidak ingin berjalan lebih jauh lagi.

Key terduduk lemas di bangku taman kenangannya. Tempat dimana pertemuan pertamanya dengan Jinki. Kibum masih mengingat jelas saat itu jemari kokoh Jinki mengusap bibir merah Kibum di bagian bawahnya. Ingat saat semburat merah muda itu muncul. Ingat saat mata beningnya menantang mata bulan sabit meneduhkan milik Jinki. Kenangan ini. Kenangan manis ini..sedikit lagi akan terhapus dengan perlahan. Kenangan yang pasti tidak bisa Kibum kenang lagi. Bunny, jeongmal mianhae. Jeongmal saranghae~

*
Benda layar sentuh itu mengedip-ngedip heboh. Segera Jinki meraihnya dan melihat siapa orang yang menghubunginya.

“Eumm.. Jonghyun?” gumamnya melirik nama yang tertera dari benda layar sentuhnya. ‘kenapa bukan Key saja sih?!’ rutuknya dalam hati. Jinki tahu, kalau Jonghyun itu adalah hyungnya Kibum. Mereka jadi akrab sejak satu hari setelah pertemuannya dengan Kibum di taman.

“Yoboseyo?” (halo?) ucap Jinki setelah memencet tombol hijau.

“Ah, Jinki-hyung! Kau ada dimana? Apa ada Kibum bersamamu?”

“Eh? Kibum? Aku baru pulang dari rumah umma, mana mungkin aku melihatnya.”

“Ah, baiklah hyung. Komawo!” (terima kasih!)

TUUUUUTTTTTTTT

Telepon pun terputus begitu saja, menyisakan perasaan kurang enak untuk Jinki. Ia menjadi cemas, dimana sebenarnya Kibum berada? Bagaimana bisa ia tidak pulang ke rumah malam-malam begini? Tidak tahukah? Jinki sangat cemas dengan keadaan Kibum. Tentu saja ia tidak bisa diam saja mengetahui kekasihnya itu belum berada di rumahnya.

Jinki segera berjalan meninggalkan apartment dan menuju basement tempat ia memarkirkan Honda Civic nya. Melajukannya dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan malam kota Seoul, mencari keberadaan Keynya.

**
Ini gila! Sudah satu jam Jinki mencari, namun ia tetap tidak menemukan keberadaan Kibum. Terlintas dalam benaknya sebuah tempat yang sangat krusial. Jinki semakin mamacu Honda Civicnya menuju tempat itu. Tempat dimana pertemuan indah itu berlangsung tiga bulan lalu. Jinki percaya pada firasatnya yang jarang meleset dari kenyataan.

Usai memarkir mobilnya asal, Jinki secepat kilat turun dari mobil dan berlari menembus hamparan dandelion liar ini. Jinki terus berlari, hingga akhirnya sepasang mata bulan sabitnya tertambat pada sesosok namja berpunggung ramping yang tengah terduduk di tengah hamparan dandelion liar ini.

“Key?” Jinki mengusap pelan bahu namja tersebut. Merasa bahunya diusap oleh seseorang dari belakang, namja berpunggung ramping itu menoleh.

AIGO! (yaampun!)

“Bun..ny,” Sejurus kemudian Jinki memeluk Kibum dengan erat, seakan takut akan kehilangan hal yang paling dicintainya setelah keluarganya.

“Hyung,”

“Pabbo! Kalau kau ingin pergi ke tempat seperti ini sebaiknya menghubungiku dulu! Kau membuatku cemas setengah mati, Key!” (bodoh!) ucap Jinki masih memeluk erat Keynya.

“Tidak hyung..” perlahan, Kibum melepaskan pelukan erat nan menghangatkan Jinki dari tubuhnya. Menatap mata bulan sabit itu dengan nanar menyedihkan.

“Ini harus diakhiri,”

“Eh? Apanya?” tanya Jinki heran. Tidak mengerti arah pembicaraan Kibum.

“Hubungan kita.. ini tidak bisa dilanjutkan, hyung.”

“A-apa maksudmu?”

“Kita putus saja, hyung!”

“Mwo?! Wae? Apa ada namja lain? Nugu?! Beri tahu aku siapa orangnya! Aku bersumpah akan menjadi namja yang lebih baik dari dia! Siapapun dia, kumohon.” (apa?! kenapa? apa ada pria lain? siapa?!) pinta Jinki.

“Tidak ada yang lain, hyung.”

“Lalu?”

“……”

“Jawab aku, Key..”

“……”

“Key! Jawablah!”

“……”

“KEY! JAWABLAH PERTANYAANKU! APA KAU BISU?!!”

“ALZHEIMER HYUNG!!! AKU TERKENA ALZHEIMER!!! APA KAU TAHU? AKU DIVONIS TERKENA ALZHEIMER!!! ITU SANGAT MENYEDIHKAN, HYUNG! SAKIT RASANYA MENERIMA KENYATAAN ITU!!!!!” perlahan, airmata yang Kibum tahan sejak tadi, mulai jatuh membasahi pipi tirusnya. Pipinya memerah menahan sakit dalam hati yang sejak tadi menjerit minta dikeluarkan.

“A..Al..Alzheimer?”

“Dokter bilang.. perlahan aku akan melupakan ingatanku, hyung. Seperti ada sebuah alat penghapus yang bersarang di otakku, aku akan melupakan semua hal yang pernah aku ingat. Aku akan melupakan teman-temanku, keuargaku, kekasihku, bahkan.. aku akan melupakan diriku sendiri, hyung! Hahaha, lucu bukan?”

“……” Jinki terdiam, memilih untuk tidak merespon Kibum.

“Ayo kita berpisah,”

“MWO?!” (APA?!)

“Ternyata benar kata orang.. dalam satu hubungan, pasti ada salah satu pihak yang tidak selamanya bahagia.” Kibum mulai meracau.

“Apa yang kau bicarakan?” Jinki semakin bingung dengan racauan Kibum.

“Ini sudah berakhir! Pikirkan itu! Mana bisa saling mencintai jika ingatanku tentang hubungan kita akan segera terhapus? Aku akan segera melupakanmu, hyung. Kau harus tahu itu..”

“Aku akan membantumu mengingatnya,”

“Andwaeyo! Kau terlalu percaya diri! Tidak ada yang dapat menyembuhkan penyakitku ini, hyung!” (kau tak bisa!)

“Uangku banyak, aku akan mencari dokter hebat untuk menyembuhkanmu! Hiduplah bersamaku , Key..”

“Sudahlah! Tinggalkan aku sekarang, Bunn!”

“Hiduplah bersamaku..”

“Berhentilah berbuat baik padaku, Bunny! Aku akan segera melupakanmu, kau ingat? Hidupmu akan menyakitkan bila bersamaku..”

“Hiduplah bersamaku, kubilang..”

“Pabbo! Cepat, tinggalkanlah aku..”

“BERISIK! SUDAH KUBILANG, HIDUPLAH BERSAMAKU!! KAU INGAT JANJIKU SAAT DI PANTAI WAKTU ITU? KAU SENDIRI YANG MENYURUHKU UNTUK TIDAK MENINGGALKANMU, NE?” Jinki menarik Kibum dalam pelukannya. Mendekap namja cantik itu dengan sangat erat dan membiarkannya menangis dalam dada bidangnya.

“Mungkin nanti akan menyakitkan bagiku, tapi.. kumohon, hiduplah bersamaku hingga akhir nanti, Key~”

“Pabbo-ya! Kau terlalu cengeng, Bunn! Aku akan pergi, kumohon lepaskanlah aku!”

“Aku sudah katakan akan membantu mengingat semuanya!”

“Kita harus melupakan semuanya! Selama perasaanmu belum terlalu dalam, mari kita berpisah.”

“Andwae! I can’t live without you, pabbo-ah! Jeongmal saranghaneun!” (aku tidak bisa! aku sangat mencintaimu!)

“Bunny.. huks..” Perlahan, Kibum membalas pelukan Jinki dan memeluk namja tampan itu dengan sangat sangat erat.

Sepasang kekasih itu, menangis bersama ditengah dinginnya malam. Disaksikan senyuman bulan purnama dan kebisuan para bintang disekitarnya. Hanya hembusan angin dan tarian dandelion liar yang setia menghibur mereka. Suasananya sangat berbanding terbalik dengan pertemuan pertama mereka, namun alam lagi-lagi dengan setia menjadi saksi bisunya~

*****
Tepat delapan bulan Kibum tinggal di rumah Jinki. Jonghyun sebenarnya merasa tak enak hati, namun karena Jinki memaksa hingga bersujud memohon pada Jonghyun agar Kibum tinggal bersamanya, ia hanya bisa mengangguk pasrah. Selama Kibum masih dekat dalam jangkauannya, tak masalah. Jinki pun memutuskan untuk memindahkan seluruh pekerjaannya ke apartment. Tentu saja ingin meluangkan waktunya dengan Kibum. Tak ada aktifitas berat yang dilakukan Kibum. Setelah bangun tidur, mandi, sarapan, minum obat, menonton kartun kesayangannya, makan siang, tidur siang, bangun lagi, mandi sore, menonton kartun lagi, makan malam, minum obat lagi, menjalani tes kecil bersama Jinki untuk menjalankan fungsi saraf pengingatnya, lalu kembali tidur. Begitu seterusnya selama delapan bulan belakangan ini. Hanya obat-obatan yang setia menemaninya. Karena semakin hari, ingatan Kibum semakin melemah.

Nyuut

“Yoboseyo? Wae kau menelponku, Jinki-hyung?” (halo? kenapa kau meneleponku, kak Jinki?) tanya suara dari seberang sana.

“Taemin-ah, bisakah kau kesini untuk menemani Key sebentar? Aku ingin membeli buah-buahan untuknya. Umm.. aku ragu bila mengajaknya nanti. Apalagi bila kutinggalkan dia sendiri disini,”

Jinki melirik Kibum sekilas. Memastikan kekasihnya tersebut dalam keadaan baik-baik saja. Kibum tampak antusias menonton acara kartun animasi Spongebob Squarepants kesayangannya. Kibum tersenyum geli lalu tertawa renyah. Jinki tersenyum kecil, senang melihat Kibum ceria seperti itu. Namun di dalam lubuk hati Jinki yang paling dalam, ia merasa sakit. Seperti ada pisau tajam yang mengiris hatinya menjadi kepingan-kepingan kecil. Ia juga takut. Takut kalau itu tawa dan senyuman terakhir Kibum yang ia lihat. Takut suatu saat nanti dirinya tidak bisa merawat dan menjaga Kibum lagi. Takut kalau Kibum benar-benar hilang ingatan, atau lebih tepatnya melupakan dirinya, melupakan kenangan-kenangan indah yang pernah mereka ciptakan selama satu tahun ini.

Firasat tak enak ini.. jujur, ia tak mau sampai firasat ini terjadi padanya. Jinki tak boleh pesimis. Ia yakin, selama nafasnya belum sampai ke kerongkongan, ia akan terus dan terus menjaga Kibum hingga akhir hayatnya~

Tanpa sadar, dua anak sungai dari mata bulan sabit meneduhkan itu mengalir membasahi kedua pipi tomat ranumnya. Langsung buru-buru ia menghapusnya. Lalu Jinki sadar dari lamunannya, dia mengacangi dongsaengnya yang kini sudah menyalak-nyalak menganggil namanya.

“Jinki-hyung! Hey! Apa kau baik-baik saja? Mengapa daritadi kau diam?” “A-anio. Hukss.. Jadi, bagaimana? Kau bisa kesini sekarang?”

“Hyung, apa kau habis menangis? Arraseo. Aku akan kesana, tunggulah.” (baiklah, aku akan kesana. Tunggulah,)

“Anio, okay bye,”

Klik.

**
Sudah satu jam Jinki meninggalkan apartementnya. Hanya apartementnya? Oh tentu tidak, masih ada Kibum dan Taemin. Ingat?

“Hhhh~” Kibum mengigau mengerikan dalam tidurnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Peluhpun membasahi kedua pipi tirusnya. Kibum bergerak kesana kemari tidak jelas, padahal matanya masih tertutup dan posisinya masih tertidur di atas ranjang. Kibum saat ini seperti orang kejang-kejang, lalu..

“AAAHHHHH!!!” Mendengar raungan keras Kibum, Taemin langsung menghampiri Kibum yang masih kejang.

“Kibum-ah! Kau kenapa?” Taemin menepuk kedua pipi tirus Kibum.

“Kibum-ah! Sadarlah!” Karena tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, kali ini Taemin beralih untuk mengguncang tubuh Kibum yang masih menggeliat kejang.

“KIBUM-AH! KAJJA BANGUN! SADARLAH! KAU KENAPA?!” (AYO BANGUN!) Taemin mengguncang tubuh Kibum lebih kuat. Berhasil. Kibum berhasil membuka matanya. Peluh terus bercucuran mengaliri siluet cantik wajah mulusnya. Setelah beberapa detik, ia bangun. Duduk bersila menghadap Taemin.

“K-kau siapa?” tanya Kibum pada Taemin. Taemin menghela nafas, tahu pasti kalau Kibum akan menanyakan soal ini. Hyung-nya yang bertemu dengan Kibum setiap hari saja terlupakan, bagaimana dengan dirinya yang berkunjung tak lebih dari satu kali dalam seminggu?

“Aku Taemin, teman satu kampusmu, dongsaeng dari Jinki-hyung. Sudahlah, tak perlu dijelaskan panjang lebar. Kau pasti akan melupakanku besok.” Kibum hanya diam, kini menatap seprai pink yang ia duduki dengan tatapan kosong. Ia mendesah tak kentara,

“Wae kau tadi……” belum sempat Taemin menyelesaikan kalimatnya, Kibum memotong.

“Mimpi buruk. Aku takut sekali. Aku bermimpi kalau.. seseorang yang entah siapa, akan mengalami musibah. Kecelakaan. Dan aku.. aku… aaahhh,”

Kibum menggelengkan kepalanya, masih menatap seprai dengan tatapan yang.. jujur, menurut Taemin itu pandangan mengerikan dari mata Kibum. Taemin mengerti, mungkin Kibum hanya mimpi buruk. Tidak berpengaruh apa-apa. Semoga.

**
Dua jam

Tiga jam

Empat jam

Empat jam sudah Jinki pergi dan sampai sekarang belum kembali. Ia dimana? Bisa-bisanya meninggalkan Taemin beserta Kibum di apartment seluas ini hanya berdua?! Kalau pergi hanya dua jam, tidak masalah. Bila empat jam seperti ini siapa yang tidak bosan menunggu?! Dan Taemin tidak suka menunggu sesuatu terlalu lama. Catat itu.

Dengan sisa kesabarannya, Taemin mulai memencet-mencet tombol dalam ponsel yang ia pegang. Mencari daftar nama pada kontaknya, lalu menekan tombol hijau.

Tuutt

Tak ada respon. Mungkin Jinki sedang dalam perjalanan pulang. Lalu setelah jeda beberapa menit, Taemin mencoba menelepon Jinki.

Tuutt

Sial. Tak ada respon lagi. Pergi kemana hyung-nya ini? Tak tahukah Jinki? Berlama-lama dengan manusia sedikit tak waras itu menularkan virus tak waras juga, tahu! Bisa-bisanya hyung-nya itu betah selama delapan bulan bersama orang seperti Kibum. ‘Oh yaa tentu saja karena cinta. Yang membuatnya membutakan segalanya~’ Pikir Taemin sarkatis.

Taemin sudah tidak sabar, kemudian mulai menelepon Jinki lagi. Bagus, kali ini tersambung.

“JINKI-HYUNG! KAU DIMANA?! MEMBELI BUAH SAMPAI EMPAT JAM SEGALA?! KAU GILA, HYUNG!”

“M-maaf. Apa.. anda salah satu keluarga dari Lee Jinki-ssi?” tanya suara lain dari seberang sana. Taemin mengernyit. Ini..jelas sekali bukan suara hyung-nya. Lalu siapa?

“B-benar. Ada apa memangnya? Maaf, anda siapa?”

“Kami dari pihak kepolisian lalu lintas Seoul, sedang menangani kasus kecelakaan yang menimpa Jinki-ssi. Beliau meninggal di tempat……”

DEG!

DEG!

DEG!

Sejenak Taemin terdiam. Saraf-sarafnya menegang, membuat tubuhnya kaku tak dapat digerakkan. Ponsel yang dipegangnya sukses meluncur dari genggaman menuju lantai dan mendarat dengan –yang untungnya- selamat sentosa.
Taemin melirik Kibum yang sedang asik memakan kimchinya sekilas. Mimpi namja cantik itu.. mengapa harus jadi kenyataan? Dan mengapa harus terjadi pada hyung-nya?

*****
Kibum memandang pusara tersebut dengan pandangan kosong. Mata beningnya tidak mengeluarkan sedikitpun cairan bening nan hangat seperti namja manis disebelahnya, Taemin.

Sudah tiga hari setelah kepergian Jinki. Tentu menjadi kesedihan yang mendalam bagi Taemin -dan juga Kibum- karena merekalah yang terakhir kali melihat Jinki tersenyum. Melihat tubuh tegap hyung mereka melenggang meninggalkan pintu apartment dan berakhir pada jalan raya yang tidak begitu jauh dari apartment tersebut.

Menurut saksi mata yang melihat kecelakaan tragis yang menimpa hyung-nya, mobil Jinki melanggar lampu merah. Honda Civic Jinki dihantam oleh sebuah truk besar lalu berputar dalam sebuah poros lima kali dan akhirnya terjun ke sungai.

Nyuut.

Taemin tidak bisa membayangkan kalau dirinya dalam posisi Jinki saat itu. Apalagi namja cantik disebelahnya ini?!

Tes

Tes

Tes

Setets jatuh, pasti yang lain akan mengikuti. Air mata Taemin jatuh membasahi gundukan tanah merah berkepala nisan. Dimana tertulis rapi dalam nisan tersebut nama hyung tercintanya.

“Hyung, huks.. Kau belum tahu ya? Namja cantik di sebelahku ini sebenarnya memimpikanmu tiga jam sebelum aku mendapat kabar buruk itu. Sesungguhnya dia.. dia takut akan mimpi itu, hyung. Dia bercerita padaku saat kau pergi. Huks huks.. Kupikir itu hanya mimpi buruk dan tidak berpengaruh apa-apa. Huks.. Dan sayangnya malah terjadi padamu, hyung. Huks..”

Taemin merosot jatuh terduduk disamping pusara Jinki. Diikuti Kibum yang masih memandang pusara kekasihnya itu dalam diam dan dengan tatapan kosong. Entah dia sedang berpikir atau apa. Taemin yakin, ia tak mungkin berpikir untuk ini. Untuk kesedihan mendalam ini. Untuk kepergian hyung mereka yang secepat ini. Yang menggoreskan luka baru nan menyakitkan dalam hati bagi dua orang yang amat sangat dicintai oleh Jinki. Figur panutan mereka, figur malaikat baik hati dan menenangkan dalam pandangan mereka, figur yang juga paling dicintai oleh mereka.

“Dia.. aneh sekali, ne? Huks huks..” tambah Taemin.

Tiba-tiba sebuah jari telunjuk menyentuh pelan nisan dalam gundukan tanah tersebut. Yang tak lain adalah telunjuk Kibum. Disela tangisnya, Taemin mengernyit melihat Kibum. Mau apa sahabatnya tersebut mengelus nisan hyung-nya? Tak tahukah namja cantik itu bahwa ini pusara kekasihnya (baca: kekasih Kibum)? Yang dulu ia bangga-banggakan dan sekarang malah terlupakan seperti ini.

Taemin masih berusaha bersabar untuk tidak menjauhi Kibum. Karena ini perintah Jinki sendiri seminggu sebelum kecelakaan tragis menimpanya.

“Lee… Jin Ki,” eja Kibum yang telunjuknya masih menyentuh nisan tersebut. Lalu Kibum menoleh ke arah Taemin yang menatapnya setengah heran.

“Beritahu aku kalau aku pernah mengenal nama ini,” ucap Kibum. Taemin mengangkat satu alisnya, heran. Kemudian menghela nafas panjang.

“Percuma bila kuberitahu, kau pasti akan melupakannya satu detik kemudian.”

“Tidak. A-aku merasa pernah mengenal nama ini. Dan.. dan kami……”

Sejenak, pikiran Kibum melayang lagi. Seperti ada dorongan untuk menjalankan fungsi saraf pengingatnya yang sekarang sudah tak berfungsi senormal orang lain. Kepalanya terasa seperti di tusuk-tusuk, namun kali ini tidak sesakit saat ia mengetahui penyakit mengerikan yang akan menyerang saraf pengingatnya hingga akhirnya seperti ini.

Terlintas sebuah siluet wajah malaikat Jinki dibenaknya. Lalu perlahan kenangan saat di taman waktu pertemuan pertamanya dengan Jinki muncul. Saat dimana jemari kokoh itu mengelus bagian bawah bibir merahnya, saat mata mereka bertumbukan dan menimbulkan percikan kilat tak kasatmata. Kemudian saat di pantai, saat di mobil dimana Jinki mengucapkan kata krusial itu, saat ia disangka gila oleh Jonghyun karena terbawa euforia, saat mengingat panggilan sayang Jinki untuknya begitupun sebaliknya, saat malam ulang tahun Jinki yang sebenarnya mereka rayakan satu hari lebih cepat. Saat dimana Jinki dan dirinya tersenyum dan tertawa riang sepanjang malam hanya berdua. Ya, hanya berdua. Kenangan manis yang tercipta oleh mereka berdua. Tanpa ia sadari, saraf pengingatnya kembali berfungsi.

Kibum akhirnya meneteskan cairan bening nan hangat itu. Taemin hanya melongo sekaligus terpana melihat Kibum yang terisak. ‘Orang yang terkena Alzheimer bisa menangis juga ya?’ tanya Taemin tak percaya, walaupun bertanya dalam hati.

“Lee Jinki dan Bunny. Apakah.. huks.. mereka sama? Kurasa iya, benarkan?” Kibum bertanya pada Taemin yang dibalas dengan anggukan.

“Apakah.. dia pernah menjadi bagian dari hidupku?” Taemin mengangguk lagi.

“Apakah.. juga ada suatu hubungan diantara kami?” Taemin seperti hiasan anjing kecil yang menjadi pajangan di dashboard mobil-mobil. Ia hanya bisa mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Kibum.

Kibum kemudian berpaling memandangi nisan Jinki. Ia melihat tanggal yang tertera pada nisan tersebut.
Tiga hari yang lalu. Tiga hari lalu jasad dalam pusara ini meninggal. Tiga hari lalu dan mengapa baru sekarang Kibum sadari? Kemana saja dirinya selama ini? Nyawanya pergi kemana saja tiga hari lalu? Atau tepatnya delapan bulan ini?

Sekelebat perkataan dokter Minho sembilan bulan lalu melintas, bahwa dirinya menderita penyakit Alzheimer. Penyakit mengerikan itu, yang kini berangsur menghilang dan semoga tak kembali.

Kibum lalu mengelus nisan itu lagi, mengecupnya, lalu memeluknya dengan erat. Membayangkan ia mengelus, mengecup dan memeluk erat tubuh Jinki. Selintas ia merasakan aroma parfum dan maskulin Jinki. Hatinya berdesir lembut. Sesungguhnya, ia rindu dan akan selalu rindu dengan aroma ini. Aroma yang selalu disukainya.

Kibum terisak, tubuhnya terguncang hebat sambil memeluk nisan Jinki. Dalam hati ia berdoa pada Tuhan agar Jinki tenang di alam sana. Berterima kasih kepada-Nya dan juga Jinki yang selalu mendoakan dirinya sehingga terbebas dari penyakit mengerikan ini. Sekaligus bertanya dalam hati entah ditujukan pada siapa, ‘apa semua ini sudah terlambat?’

*****
Kibum semakin sering mengunjungi makam kekasihnya itu. Ia tak pernah absen barang satu haripun. Membuat Taemin semakin mengerti kalau sahabatnya ini berangsur sembuh dari Alzheimer.

Bunga lily putih yang dipetik Kibum dari taman kenangannya bersama Jinki, juga tidak pernah absen menemani Kibum mengunjungi makam.

“Annyeong, Bunny. Selamat pagi. Bagaimana tidurmu semalam? Apakah kau memimpikanku? Dangsin kkumeul kkwoseoyo.” (aku memimpikanmu) Kibum mulai bermonolog sendiri.

“Bunny, dengar ya. Aku akan menyanyikan sebuah lagu yang kukarang sendiri. Andai kau masih ada, kita pasti akan menjadi duet maut. Hahaha,” Kibum terkekeh sendiri. Tau saat ia terkekeh seperti ini, Jinki akan menyebutnya ‘Kawaii~’

Kibum bersiap membuka mulut, menyenandungkan lagu buatannya sendiri untuk Jinki tersayang.

“Last night in my dreams,

you drew close to me

your whispered words,

your hair that brushed against my face


when I woke up from my dream,

it was all too clear

that your presence was nothing but a dream,

the tears in my eyes told me


you can’t, you can’t, don’t leave like this

please just one more time, one more time,

hold me as I stay still in that spot


even when I open my eyes

only your figure is clear

that your presence was nothing but a dream,

the sadness reflected in my tears told me


you can’t, you can’t, don’t leave like this

please just one more time, one more time,

hold me in your arms again


the next time I close my eyes to meet you

hold me as I stay still in that spot


I try and even though I try,

I insist, I insist,

come back to me


you can’t, you can’t, don’t leave like this

please just one more time, one more time,

hold me in your arms again


you can’t, you can’t, don’t leave like this

please just one more time, one more time,

hold me in your arms again

the next time I close my eyes to meet you

hold me as I stay still in that spot”

Kibum menyelesaikan lagunya. Ia tersenyum pada pusara kekasihnya. Memandang pusara tersebut seolah Jinki sedang tertidur.

“Bunn, neomu neomu kamsahamnida untuk semuanya, ne? Segala kenangan yang pernah kau lukiskan dalam hidupku. Atas kesetiaanmu dalam menjaga hubungan kita. Atas kesabaranmu menjaga dan merawatku selama ini. Atas doamu sampai aku sembuh seperti sedia kala. Ah sudahlah, pokoknya terima kasih atas segala-galanya. Kau tahu kan aku tak pandai menyusun kata-kata. Tak seperti dirimu, Bunn.”

“Sepi rasanya tanpa kehadiranmu, Bunn. Padahal kau sudah berjanji untuk tidak meninggalkanku ya? Tapi…ehm tak apalah untukmu,”

“Kau tahu? Jeongmal bogoshippeo~” (aku sangat merindukanmu~) Airmata Kibum mengaliri pipi tirusnya. Pipi yang pernah dikecup oleh namja tampannya.

Perlahan, Kibum mengelus nisan bertuliskan nama kekasihnya itu. Mengecupnya lalu memeluknya dengan erat, layaknya mengecup dan memeluk Jinki yang sedang tertidur. Ya, hanya tertidur.

“Jeongmal, neomu neomu saranghae, Bunny.” (aku amat sangat mencintaimu, Bunny)


-Tamat-
**********
ga sedih ya? author malah ngerasa sedih banget wkw #deardiary #curhatanauthor. Lagu yang dinyanyiin Key itu judulnya Please Don’t Go yang dinyanyiin Onew sama Jonghyun tapi ini translation nyaa haha. Itu lagu enak banget! siapa dulu dong yang nyanyiin? appa dan oppa gueh (?) :p

Sekian ya ff oneshoot berchaptered saya yang gak jelas ini. Kritik & saran bisa comment atau mention @FirliWirany. Difollow juga boleh :p :D
Kamsahamnida for read^^

Please Don't Go chapter 1

Sekian lama kesana kemari mencari ff onkey. Oke ya ini bukan ayu ting-ting yang tak kunjung mendapat alamat kekasih gelapnya (?) enough -_-

Info author nih yaaa, gue lagi doyan banget baca ff onkey 2min bergenre romance sad gitu. Kok ga ada Jonghyun? Abis dia pasangannya di syaini sih wkw. Gue nyoba bikin sendiri akhirnya jadi abal gini deh, ya maklum masih amatir dan pemula. Tadinya pengen bikin oneshoot tuh, eh karena kepanjangan dan belum sampe klimaks yaudah deh dibikin berchapter aja. Oke sekian curhatan –dan sama sekali bukan info!- author. Oh iya big thanks buat abang-abang syaini yang bersudi mau jadi cast dicerita abal saya, Kajan dengan Love Command nya yang tinggal satu chapter lagi ending dan semoga bisa dibikin novel yaaa. Terus kak Cornelia dan para author lain dengan ff Onkey 2min nya di blog kak A. Vinna, Authorizuka dengan novel Infinitely Yours nya yang sumpah itu novel super kereeen! Buat kak Herda juga yang udah bantu nyari alurnya. Sukses terus kaliaaaan *hugs* Langsung aja gimana? Okay, don’t be silent readers! Hope yall like it. Check this ouuutttt :D

********************
Tittle : Please Don’t Go

Author : Most Valuable Person for Lockets (?) a.k.a Firli Wirany~

Genre : Romance, Sad menjurus ke Angst abal-abal. Tralalalala~

Cast : Lee Jinki, Kim Kibum, Lee Taemin, Kim Jonghyun dan Choi Minho

Theme Song : Please Don’t Go – Onew & Jonghyun

Length : sepanjang jalan kenangan~

Type : OneShoot berchapter (?)

******
Rinai hujan masih membasahi kulit bumi sore ini. Meneteskan sisa bulir-bulir air pada bangku taman dimana tempat seorang namja tampan terjaga dalam duduknya. Namja tampan itu bergeming, memandang sebuah danau di depannya dengan ekspresi tak tertebak. Sesekali ia memejamkan matanya sambil menengadah ke atas, merasakan rinai kecil dari tangisan alam ini menyentuh permukaan pipi tomat ranumnya.

Hujan yang kini sudah reda, menimbulkan aroma tanah basah yang menurut namja tampan itu memiliki ke-khas-an tersendiri. Entahlah, ia sulit menjelaskan darimana asal cetusan kata-kata itu. Namja tampan tersebut masih memejamkan mata sambil sesekali menghirup aroma tanah basah di sekitarnya. Bersamaan dengan itu pula, terdengar suara deheman pelan. Namja pipi tomat itu membuka matanya lalu menoleh ke empunya suara deheman pelan tadi.

Dilihatnya seorang namja cantik berpipi tirus yang sedang tersenyum manis kearah si namja tampan. Namja tampan itu memekik pelan dalam hati, ‘manis sekali senyuman namja cantik ini’. Namun sang logika malah menyuruh membuka mulutnya dan bertanya,
“Ada apa?”

“Boleh aku duduk disini?” Namja tampan itu membalas senyuman si namja cantik dan dengan senang hati mempersilahkannya duduk.

“Kamsahamnida, hyung.” (terima kasih) ucapnya beberapa detik setelah bokong si namja cantik mendarat mulus di bangku taman ini.

“Cheonmaneyo,” (sama-sama) balas si namja tampan.

Lima belas menit mereka lalui dengan diam. Sibuk dengan pikiran dan kegiatannya masing-masing. Tak ada yang berbicara satu sama lain. Membuat si namja tampan gemas untuk memulai pembicaraan dengan namja cantik disebelahnya.
“Kau sedang apa disini?” si namja cantik menoleh, tesenyum tipis dan membuang pandangannya ke danau di depannya.

“Menunggu pelangi. Kau sendiri?” namja cantik itu berpaling –lagi- dan menatap sepasang mata bulan sabit milik si namja tampan. Namja tampan itu mengernyit tak kentara lalu berkata,
“Hanya merileksasikan diri,” si namja tampan ikut tersenyum tipis, lalu menambahkan, “Sebenarnya aku juga sedang menunggu pelangi. Oh ya, kau sudah lama disini?”
“Ani, aku datang setelah hujan reda. Umm.. sepertinya, kau sudah lama disini, ne?”

“Tunggu, ottokhae arraesso?” (bagaimana kau bisa tahu?) si namja tampan menaikkan satu alisnya. Sedangkan si namja cantik hanya terkekeh kecil. Ck. Kawaii~ decak si namja tampan.
“Bajumu basah sekali, hyung.” namja tampan itu lalu memperhatikan pakaian basah yang dikenakannya dan tertawa pelan.
“Oh iya, aku lupa.”

Tak berapa lama, namja cantik pipi tirus itu merogoh tas selempang hitamnya. Mencari sesuatu nampaknya. Ia mengambil dua bungkus kue cokelat mungil dari dalam tasnya.

“Aku lapar. Apa kau mau ini?” tawarnya pada si namja tampan yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangan darinya. Merasa diajak bicara, si namja tampan tergagap dan mengerjap dua kali,

“Mianhae, mungkin sederhana. Tapi cukup hanya sekedar untuk isi perut,” (maaf) lanjut si namja cantik.
“Gwenchana. Kebetulan aku juga sedikit lapar, boleh… minta satu?” (tidak apa-apa) tanya si namja tampan dengan nada yang sedikit merendah. Namja cantik disebelahnya mengangguk dan menyodorkan salah satu bungkus kue cokelatnya pada si namja tampan.
“Tentu saja. Saat menunggu pelangi seperti ini membutuhkan waktu yang agak lama dan membuatku lapar. Maka dari itu, aku selalu membawa bekal jika pergi melihat pelangi,” Si namja tampan hanya mengangguk.

“Oh ya, by the way.. siapa namamu?” gemas juga si namja tampan ingin bertanya soal ini sedari tadi.

“Eoh? Umm.. Joneun Kim Kibum imnida,” (aku Kim Kibum) namja tampan disebelahnya tersenyum lagi, lalu mengulurkan tangan.

“Lee Jinki imnida,” sedetik kemudian Kibum membalas uluran tangan Jinki. Mereka berdua tersenyum, lalu melanjutkan aktifitas makan mereka.
Sambil melahap jatah kue cokelatnya, si namja tampan tahu, sadar atau tidak, sedari tadi juga tidak melepaskan pandangan pada namja cantik disebelahnya.
Melihat Kibum menggigit bagian kecil kue cokelat mungilnya sambil berceloteh kecil, dan sesekali tersenyum entah pada siapa, membuat Jinki tak bosan memandang mata bening dan berbinar milik namja cantik berpipi tirus ini. Entahlah, wajahnya juga enak dipandang~

Merasa diperhatikan, Kibum berhenti berceloteh dan membuang pandangan ke sisa kue cokelat di tangannya. Kue cokelat mungil yang merasa harus diperhatikan ketimbang mata bulan sabit milik namja tampan di sebelahnya. Atau… dirinya sendiri malu karena diperhatikan seperti itu? Entahlah~
Jinki tersenyum penuh arti melihat semburat merah muda di pipi Kibum. Jinki kembali memekik dalam hati. ‘Sial, mengapa namja cantik ini terlihat begitu manis? Umm.. bahkan lebih cantik? Padahal ini pertemuan pertamaku dengannya’ rutuknya dalam hati, bertahan untuk tidak menyubit pipi tirus merah muda Kibum yang terlihat menggiurkan dibanding dengan kue cokelatnya.

Satu gigitan lagi, dan Kibum akhirnya menyelesaikan kue cokelatnya. Kibum hanya tidak tahu bahwa ada sisa cokelat menempel dengan apik di bawah bibir merahnya. Yang refleks, dihapus oleh Jinki dengan pelan.

Kibum terperangah mendapati Jinki yang dengan tenang mengusap bagian bawah bibirnya. Jemari kokoh Jinki juga menimbulkan rasa hangat yang masuk lewat pori-pori, perlahan namun pasti menjalar lewat pembuluh darahnya dan akhirnya berkumpul di pipi tirus Kibum. Yang dengan jelas menimbulkan semburat merah muda lagi disana.
Lalu tak berapa lama, mata bulan sabit milik Jinki dan mata bening milik Kibum itu bertumbukan. Menghasilkan kilat-kilat tak kasatmata, juga sekaligus percik-percik yang entah apa namanya~ Mata bening milik Kibum ditelan bulat-bulat oleh sepasang mata bulan sabit milik Jinki. Jinki memandangi wajah Kibum dengan rakus. Ditatapnya siluet cantik nyaris sempurna ini lekat-lekat. Seolah besok ia akan buta. Sedangkan Kibum juga tampak menikmati tatapan teduh dari mata bulan sabit milik namja tampan dihadapannya.
“Oh, neomu yeppeo!” (oh, cantik sekali) bisiknya pelan. Dirasakannya pipi Kibum yang mulai memanas, padahal tidak ada kompor minyak disana. Kibum akhirnya memilih untuk berdehem.

Sedetik kemudian dua anak manusia itu tersadar sendiri, lalu keduanya terlihat salah tingkah. Dan sepertinya pelangi –objek yang Jinki dan Kibum nantikan- mulai muncul.

“Hey lihat, pelanginya muncul!” seru Kibum memecahkan kecanggungan yang baru saja terjadi beberapa detik lalu. Jinki tak lama juga memandang pelangi yang berada di balik danau. Kibum berdiri dan mendekat kearah danau, berlari kecil menerjang hamparan dandelion dan kemudian duduk di pinggir danau. Mau tak mau, karena antusias juga, Jinki mengikuti Kibum.

Setelah menempatkan bokong pada posisi yang nyaman, Jinki dan Kibum menatap 7 lengkungan warna sempurna dibalik danau itu.

“Yeppeo~” (indah~) tutur Kibum yang masih menatap lurus ke depan. Jinki hanya mengangguk. ‘Kau lebih indah dibandingkan pelangi, Kibum-ah’ bisik Jinki pelan di sebelah sisi hatinya.
Entahlah, semakin ia menatap wajah cantik Kibum, semakin ia mengagumi pahatan manusia nyaris sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. Tanpa celah jelek sedikitpun di mata Jinki. Ia terus dan terus menatap siluet cantik disampingnya. Memandangi sebelah pipi kanan Kibum yang mulus dan bening. Sambil terus otak dan pikirannya meneriakkan satu nama. KIM KIBUM~

*
Kibum menoleh ke kenan –ke arah Jinki-. Dan didapatinya sepasang mata bulan sabit milik Jinki menantang mata beningnya. Membuat dua pasang mata itu saling beradu dan menimbulkan kilatan tak kasatmata itu lagi. ‘Tuhan, namja ini benar-benar tampan. Matanya teduh sekali!’ Kibum kali ini memekik dalam hati. Ia baru menyadari namja yang sedang ditatapnya begitu tampan. Setelah itu logikanya tak terkendali lagi, pelangi yang dijadikan objek pengamatannya sore ini diabaikan, dan digantikan oleh namja tampan yang hanya berada beberapa inci dari tempatnya berpijak sekarang. LEE JINKI~

**
Sore itu, kue cokelat itu, pelangi itu, bangku taman itu, tanah basah itu, danau itu, hamparan dandellion beserta kawan-kawannya itu, sekali lagi menjadi saksi bisu atas perasaan terpendam yang –mungkin- belum bisa terungkapkan~
*****
From : Jinki-hyung :)
Key, already touch down at your palace!


Kibum tersenyum melihat siapa pengirim pesan singkat tersebut. Begitulah pesan singkat dan panggilan khas Jinki untuk Kibum. Ya.. memangnya siapa lagi? Genap satu bulan mereka menjalin persahabatan. Genap satu bulan juga perasaan kedua anak manusia itu tidak tersalurkan~ Ups.. oke, mungkin lebih tepat terungkapkan. Tak ada salah satu dari mereka yang berani untuk sekedar menyinggung ‘kata krusial’ itu. Miris? Tidak juga. Setidaknya bagi mereka.

Sekali lagi Kibum mematut diri di depan cermin setinggi tubuhnya. Memastikan penampilannya terlihat rapi di depan Jinki. Tentu saja. Kibum hanya memakai kaus santai berwarna pink bertuliskan Strawberry Girl, berpadu jeans selutut dengan warna senada dan topi beserta tas selempang hitam kesayangannya yang tergantung rapi di bahu. Ia tampak biasa saja. Karena hari ini Jinki mengajaknya ke pantai. Dan untuk apa berdandan seperti ingin ke pesta? Ia tersenyum miring, tanpa tahu kalau ini senyum favorit Jinki.
Duk

Duk

Duk

Kibum berlari menuruni anak tangga. Membuat Jonghyun, saudara kandung satu-satunya yang Kibum miliki, terheran setelah kaki adiknyanya mendarat sentosa di anak tangga paling bawah. Kibum tinggal bersama hyung sedarahnya –Jonghyun-. Hanya berdua karena kedua orangtuanya sudah meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan.

Kibum menyambar sehelai roti selai strawberry kesukaannya. Kibum memang suka dengan hal-hal yang berbau strawberry dan warna pink.

“Aku akan pergi ke pantai bersama Jinki-hyung. Jadi aku pulang agak telat. Apa kau tidak apa-apa bila sendiri? Oh yaa.. ada si coco (anjing milik Kibum), ne? Kalau begitu kau tidak akan sendiri dan kesepian. Baiklah aku berangkat~ tenang saja, akan kubawakan ramyeon super enak. Annyeong, brother.” (dadah, kak)

Kibum buru-buru membuka pintu dan langsung berlari ke halaman, meninggalkan hyung-nya yang hanya bisa geleng-geleng kepala dan berpesan dengan sedikit berteriak.

“Hati-hati!”
*
Jinki mengetuk-ngetuk stir Honda Civic nya. Terus memandangi rumah sederhana berpagar hitam menjulang yang selalu ia sebut istana sang permaisuri hatinya. Lalu tak lama muncullah sesosok yang begitu dinantikannya. Kibum. Tentu saja~

Kibum membuka pintu penumpang depan, membungkukkan badan dan menyapa Jinki.
“Annyeong, Jinki-hyung.” sambil tersenyum, Kibum masuk dan mendudukkan tubuhnya di jok. Tentu saja Jinki membalas sapaan dan senyuman Kibum.
“Annyeong Key,”
“Baiklah, kajja kita ke pantai!” (ayo kita ke pantai) seru Kibum bersemangat.

***
Jinki tertawa geli melihat ekspresi Kibum saat jemari kakinya yang dihempas oleh ombak kecil pantai. Lalu timbul niat jahilnya untuk bersembunyi dibalik gazebo. Perlahan namun pasti ia bersembunyi, meninggalkan Kibum sendirian yang masih asik dengan ombak kecilnya. Sadar Jinki tak ada disampingnya, Kibum memanggil nama Jinki berkali-kali. Kibum tampak panik.
“Jinki-hyung! Ini sungguh tidak lucu! Kau dimana? Tega sekali meninggalkanku sendiri,”

“Jinki-hyung! Hey!”

“Jinki-hyung! Don’t leave me alone,”

Jinki menahan semburan tawanya melihat Kibum yang tengah kebingungan mencari dirinya. Dan hei, tunggu sebentar.

Tes

Tes

Kibum menangis. Oke, cukup main-mainnya. Jinki tidak boleh membuat namja cantik kesayangannya ini menangis.

Jinki keluar dari tempat persembunyiannya lalu menghampiri punggung Kibum yang sedikit terguncang. Sejahat itukah dirinya? Atau karena Kibum yang cengeng? Maksud Jinki hanya bercanda bukan?

“Key, wae kau menangis?” (mengapa kau menangis?) ucap Jinki tiba-tiba dibelakang Kibum. Jinki menghapus pelan butiran airmata Kibum dengan pelan.

“Jinki-hyung! Lihatlah, kau membuatku kebingungan mencarimu hingga akhirnya menangis seperti ini. Cukup puaskah?” Kibum mengerucutkan bibirnya. Kawaii Key~

“Maksudku hanya bercanda, Key. Kau mengerti, ne? Mianhae Kibum-ah,” (maaf, Kibum) sejurus kemudian Kibum langsung memeluk Jinki erat.

“Don’t ever leave me, would you?” Awalnya Jinki sempat kaget, namun tidak melewatkan kesempatan ini. Jinki pun membalas pelukan Kibum.

“Never ever, Key.” Lalu Jinki mengangkat tubuh Kibum dan menggendongnya layaknya pengantin baru. Manis. Tentu saja~

**
“Apakah hari ini kau senang, Key?” tanya Jinki setelah menarik pedal remnya. Mereka akhirnya sampai di rumah Kibum. Kibum mengambil kantong plastik berisi ramyeon yang ia janjikan pada brother Jonghyun.

“Ne, hyung. Jeongmal,” (Iya, kak. Sangat) Kibum tersenyum, begitupula Jinki. “Thanks for today,” sambungnya.

CUP~

Kibum mengecup sebelah kanan pipi tomat Jinki. Kejutan kedua dari Kibum untuk Jinki hari ini. Namja tampan yang baru Kibum kecup pipinya tersenyum lagi.

“You are welcome,” Terlintas dipikirannya untuk membalas kejutan dari Kibum. Mungkin bukan waktu yang tepat, tapi inilah saatnya. Kata krusial yang sudah lama ia persiapkan sejak awal pertemuan di taman sebulan lalu. Masih ingatkah?

“Key,” desah Jinki pelan bertepatan saat Kibum hendak membuka pintu mobil.

“Ne hyung? Wae?” (ya, hyung? kenapa?) tanya Kibum.

“Saranghaeyo..” (aku mencintaimu) Kibum membuka mulutnya. Terperangah tak percaya bahwa kata krusial yang dinantikannya itu keluar juga dari bibir tebal Jinki.

“Eoh? Umm… n-nado saranghae, hyung.” (Umm… aku mencintaimu juga) kali ini ganti Jinki yang mengecup pipi tirus Kibum.

“Istirahatlah, keep healthy, ne? Thank you for an unforgettable day. Annyeong, Key~” sedikit ragu, Kibum mengangguk.

“Annyeong hyung.” Kibum membuka pintu mobil, lalu keluar. Melambaikan tangannya sembari melepas kepergian Honda Civic milik Jinki. Berjalan masuk ke dalam rumah dengan berjuta perasaan euforia.

*****
Melayang~ Kibum merasa tak merasa duduk di bangku pink ini. Ia terus melahap roti selai strawberrynya dan tersenyum sendiri mengingat statusnya sekarang. Ia.. ehm, resmi menjadi milik Jinki sejak semalam.

Jonghyun menyadari sikap aneh yang tersirat dari dongsaeng satu-satunya sejak kemarin malam. Apakah dongsaengnya ini gila? Apakah Jinki-hyung juga yang membuat dongsaengnya seperti ini? Tersenyum sendiri seperti orang tak waras?! Jonghyun bersumpah jika dongsaengnya ini gila karena Jinki-hyung, ia akan menyabut gigi kelinci dan menonjok pipi tomat ranumnya.

“Hey, bisakah kau berhenti tersenyum sendiri layaknya orang tak waras, Kim Kibum?” sindir Jonghyun disela sarapan pagi bersama Kibum.

“Eoh?”

“Jangan berpura-pura bodoh, Kibum-ah~ Kau diapakan oleh Jinki-hyungmu kemarin?”

“Eoh? Jangan berpikir negatif, brother. Dia hanya mengajakku ke pantai. Kau ingat?"
“Yakin hanya itu?” cecar Jonghyun.

“Sudahlah, aku tidak gila. Hanya… hanya saja aku senang sekali~” Kibum tersenyum lagi.

“Karena Jinki-hyung membawamu ke dukun lalu membuatmu gila seperti ini?” tanya Jonghyun sarkatis.

“Ani, jeongmal anio. Sekarang kami.. ehm, resmi menjadi pasangan kekasih. Kau tahu? Itulah yang menyebabkanku…” (bukan, sama sekali bukan) Jonghyun menyemburkan teh hijau dari mulutnya. Batuk sebentar dan menatap Kibum dengan pandangan tak percaya tingkat maksimal.

“Mwo? Jadi..jadi.. kau…” Jonghyun geleng-geleng tak percaya. Kibum sendiri bergegas bangkit dari tempat duduknya dan berkata..
“Wae? Kau iri ya? Hahaha memadu kasihlah dengan coco~”
Kibum lalu menjulurkan lidahnya.

*****
Kibum mengetuk pintu apartment Jinki.
“Tunggu sebentar,” terdengar suara dari dalam yang tidak asing di telinga Kibum. Namun suara tadi bukan suara Jinki, melainkan..
Pintu terkuak, lalu muncul wajah seorang namja manis yang tak lain tak bukan..

“Taemin-ah?”

Sejenak Kibum terdiam. Sedang apa teman satu kampusnya ini di apartement kekasihnya? Atau jangan-jangan…

“Kibum! Ada apa kau kemari?” namja manis yang namanya Taemin ini bertanya dengan tatapan bingung. Ada maksud apa sahabatnya datang kemari tanpa memberitahunya dahulu? Dan..bagaimana Kibum bisa tahu apartement hyung-nya?

Kibum menahan amarahnya dalam hati, ‘harusnya aku yang tanya, mengapa kau ada di dalam apartement Bunny?!’

“Apa kau.. selingkuhan Jinki-hyung?” Taemin membuka mulutnya, menatap sahabatnya dengan mata melotot bingung.

“A-apa maksudmu?”

“Kau jahat sekali, Taemin.” airmata Kibum mulai mengalir membasahi pipi tirusnya. Membuat Taemin semakin bingung tingkat maksimal saat ini. ‘Ada apa sebenarnya?!’

“Kau..huks.. kau.. telah merebut..huks.. Bunnyku..huks..”

“Aigooo, apa maksudmu? Siapa Bunny itu?” (yaampuuuun, apa maksudmu?)

Lalu objek yang dibicarakan muncul dari ambang pintu.

“Ada apa ribut-ribut... Eh? Key, wae kau menangis? Apa yang kau lakukan, Taemin-ah?”
Jinki berangsur memeluk Kibum, namun Kibum meronta minta dilepaskan.

“Bunn..Bunny.. kau tega sekali.. huks,” Kibum masih berusaha melepas paksa pelukan –yang sebenarnya hangat- Bunnynya. Begitulah panggilan sayang Kibum kepada Jinki.

“Taemin-ah! Apa yang kau lakukan pada Keyku?!”

“Aku tidak melakukan apa-apa, hyung! Jebal!” (sungguh!) ujar Taemin berani menantang mata bulan sabit milik hyungnya.

“Kau.. selingkuh bersama sahabatku, Bunn!” Kedua sanak bermarga Lee itu melongo tak percaya. Lalu keduanya saling bertatapan sebentar, mengerti bahwa ini hanya kesalahpahaman Kibum.

“Biar kujelaskan, Key.. Tenanglah dulu,”

“Aku tidak butuh penjelasanmu, Bunn. Semua sudah jelas, apa yang perlu dijelaskan?!” ucap Kibum sedikit berteriak.

“Aku bukan selingkuhan Jinki-hyungmu, Kibum. Aku dongsaengnya!” (aku adiknya) celetuk Taemin yang sejak tadi hanya memilih untuk diam karena sedikit takut melihat amarah Kibum.

Sejenak, Kibum yang tadi sibuk melepaskan pelukan Jinki, terdiam.

“Is that true?” tanya Kibum memastikan. Jinki mengangguk mantap, sesuai dengan fakta bahwa Taemin benar-benar dongsaengnya.

“Jeongmal ne, Key.” (benar sekali, Key)

“Mianhae, Bunn!” (maaf, Bunn!)

Sejurus kemudian Key memeluk Jinki. Lalu melepaskan pelukannya dan menatap Taemin. Memeluknya juga,

“Jeongmal mianhae, Taemin-ah!” (I’m so sorry~)

Taemin lalu balas memeluk sahabatnya.

“Gwenchana,” (tidak apa-apa)

*****
Saat ini Kibum berada dalam toko kue di kawasan Daegu. Yang konon, kebanyakan toko kue di daerah ini menjual berbagai macam kue yang enak-enak dan harganya cukup terjangkau.

Sambil menunggu kue pesanannya dibungkus, Kibum sibuk melihat kue-kue imut berukuran sekali lahap yang dihiasi beberapa strawberry kecil di dekat meja kasir. Uh seems delicious~ Kibum melawan egonya untuk tidak membeli kue-kue imut itu. Tujuannya kemari hanya untuk membeli kue ulang tahun Jinki. Karena malam ini, Kibum akan mengadakan surprise party pada Bunnynya. Special di malam ulang tahun Bunnynya dilalui hanya berdua. Tidak boleh ada yang mengusiknya walaupun hanya Taemin atau Jonghyun sekalipun. Hanya mereka berdua. Hanya Key dan Bunny. Yang ditemani oleh cahaya bulan, lilin-lilin kecil, dan cinta~ Manis. Cukup mengkhayalnya, karena beberapa jam setelah ini khayalan Kibum akan segera terkabulkan.

“Tuan,” panggil yeoja manis penjaga kasir pada Kibum. Kibum menoleh dan melihat bungkusan yang dipesannya ada di tangan yeoja manis itu. Si yeoja lalu menyerahkan bungkusan pada Kibum.

“Kamsahamnida,” (terima kasih) Setelah mendapat balasan anggukan dari yeoja manis tadi, Kibum melangkahkan kaki keluar dari toko. Lalu menyetop taksi yang kebetulan lewat.

“Seoul, ahjusshi.” (seoul, paman)

**
Kibum merogoh saku celananya. Tidak ada. Lalu mengorek isi tas selempang hitamnya. Juga tidak ada. Lalu dimana dompetnya?

“Sebentar ahjusshi, sepertinya dompetku tertiggal di dalam rumah. Aku akan mengambilnya,”

Kibum dengan sekuat tenaga berlari memasuki rumahnya. Menaruh bungkusan kue black forest itu di meja makan. Lalu ia melesat naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Menggeledah seisi kamar bernuansa serba pink itu. Mencari objek super pentingnya di meja belajar, di lemari pakaian, di kolong tempat tidur sampai ke tumpukan pakaian kotor, hasilnya tetap sama, nihil. Dimana dompet kesayangannya itu? Kibum nampak gerah lalu melepas jaket bulunya. Terlihat benda mungil berwarna biru jatuh ke lantai dengan selamat sentosa dari saku jaket bulunya. Kibum menepuk kening,

“Aigooo, wae aku lupa kalau dompetku ada di saku jaket bulu itu?!” dengan buru-buru Kibum keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga dan langsung melesat ke jalan. Memberikan tiga lembar uang won pada supir taksi yang dengan sabar menunggu Kibum.

**
Malam yang dinantikan Kibum datang juga. Ia telah mempersiapkan segalanya dengan apik. Menyuruh Jonghyun menginap di rumah Ahjumma mereka agar tidak ada seorangpun yang mengusik malam special ini. ‘Bunny pasti senang,’ pikir Kibum sesaat.

Ting Tong

Sesosok tubuh tegap muncul dari ambang pintu. Tubuh tegap itu terbalut oleh kemeja biru muda yang lengannya dilipat sesikut dan celana jeans hitam yang menjuntai sebatas mata kakinya. Sederhana namun tampan! Dia datang~

“Saengil chukkae, Bunny! Selamat ulang tahun^^!” Kibum mengecup kedua pipi tomat ranum Jinki. Lalu berangsur memeluk Bunnynya. Kibum menghirup aroma parfum dan maskulin khas Jinki. Aroma yang begitu disukainya.

“Eh?” Jinki menampakkan ekspresi keheranan.

“Untukku?” tanya Jinki.

“Ne, hyung! hihihi,” jawab Kibum.

“Tunggu sebentar,” Jinki melepaskan pelukan Kibum. Merogoh saku celananya dan mengambil benda mungil berlayar sentuh. Entah ia mengutak-atik apa, jelas sekali Kibum menautkan kedua alisnya.

“Lihat, bukankah sekarang tanggal 13 Desember?” Jinki menyodorkan benda layar sentuhnya pada Kibum. Mata bening Kibum memperhatikan dengan seksama apa yang terdapat pada benda layar sentuh milik Jinki itu.

“Bu..bukannya..hari ini tanggal 14?”

“Astaga Keeeey, kau lupa tanggal? Hahahaha,” Kibum menepuk kening untuk kedua kalinya hari ini. “Padahal.. aku sudah menyiapkan semua ini untuk hyung. Sayangnya, aku salah ya?” ucap Kibum tampak lesu dan kecewa.

“Hey Key, kau kecewa ya? Hahaha sudahlah~ Tidak masalah kan kalau kita merayakannya lebih cepat? Kajja kita potong kuenya!”

“Kau tidak marah, Bunn?”

“Kenapa musti marah? Kajja kita tiup lilin dulu, oke?”

“Hehehe.. kita harus memotretnya juga!” ucap Kibum sambil mengambil camera yang terletak di meja makan.

Mereka berdua tersenyum, tertawa dan makan bersama dengan perasaan riang malam itu. Jinki senang sekali. Walaupun Kibum sedikit mengacau akibat kecerobohannya, tapi.. yang penting ia bisa melihat senyuman merekah indah terlukis dari bibir tebal Jinki.

*****
Kibum begitu mencemaskan dirinya sendiri yang akhir-akhir ini sering pikun. Kemarin ia menggosongkan kemeja Jonghyun, kemarinnya lagi ia lupa makan seharian, lalu kemarinnya lagi ia lupa mengerjakan tugas makalah. Sadar bahwa ini tidak bisa dibiarkan, Kibum akhirnya memilih untuk memeriksakan diri ke psikiater sekaligus meminta obat apa saja asalkan penyakit mengerikan ini menghilang.

“Silahkan masuk,” ucap seorang suster muda yang mengantarkan Kibum dan membukakan pintu ruang pemeriksaan psikiater.

Dihadapan Kibum saat ini, terlihat jelas seorang psikiater muda yang berusia sekitar dua puluh tiga tahunan tengah duduk sambil asik menuliskan hal-hal yang tidak dimengerti dalam buku catatannya. Dokter Choi Minho, begitu kiranya yang tertulis di depan pintu ruang pemeriksaan.

“Ah, silahkan duduk Tuan.”

“Terima kasih,” Dokter Minho membuka sebuah arsip di sebelah kanan yang sepertinya itu adalah daftar nama pasien yang akan ditanganinya.

“Kim Ki Bum-ssi?” (tuan kibum?)

“Ne,” (ya)

“Baiklah, tunggu sebentar.” Dokter Minho beralih membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah alat perekam lalu digenggamannya.

“Bisa kita mulai sekarang, Kibum-ssi?”

“Ah ya, silahkan.” Dokter Minho mulai menekan tombol merah pada alat perekam itu dan mendekatkan alat tersebut ke arah mulutnya.

“Apa kau pernah mengalami stress yang berlebihan, Kibum-ssi?”

“Eumm.. aku.. terlalu banyak tugas kuliah yang harus kukerjakan. Dirumah, aku juga harus membereskan rumah.. mungkin aku sedikit lelah,” dari gerak-gerik dokter Minho, Kibum tahu kalau dokter ini sengaja merekam percakapan mereka.

“Apa ada kenangan yang tidak menyenangkan yang terjadi padamu?” “Kejadian tidak menyenangkan? Eumm.. tiga tahun lalu, saat orangtuaku meninggal karena kecelakaan. Saat itu aku menangis seharian penuh,”

“Apa kau merasakan perubahan emosi yang begitu cepat?”

“Eumm.. entahlah~ Akhir-akhir ini aku selalu ceroboh dan lupa akan sesuatu.” “Apa kau sering insomnia?”

“Tepat. Eumm.. apakah perlu percakapan ini direkam?”

“Ah, tidak usah mempermasalahkan alat ini. Cukup jawab saja pertanyaanku. Jawabanmu saat ini bisa jadi pertimbanganku dalam analisis penyakitmu.” jelas dokter Minho. Kibum mengangguk.

“Baiklah, mungkin ini terjadi karena kau mengalami stress berat akibat banyaknya tekanan. Kembalilah seminggu lagi. Aku akan memberikan beberapa tes lagi dan hasil scan padamu untuk melihat apa ada sesuatu di organ dalam kepalamu.” sambung dokter tersebut.

“Arraseo. Annyeonghasimnika, dokter Minho.” (baiklah. permisi, dokter Minho)

“Ne, annyeong.”

Usai berpamitan, Kibum segera melangkahkan kakinya untuk pulang.

“Apapun hasilnya, tetap saja aku hanya kelelahan. Aku harus banyak istirahat setelah ini,” kata Kibum menenangkan dirinya.

*******************
Weird? Checked. Lebay? Checked. Bertele-tele? Checked. Yak saya masih amatir bung, namun mental saya bukan mental bangsa terjajah \M/ *bu Djua style* -_-v Hayo kira-kira Key sakit apa? Soal Alzheimer itu gue nyontek dari blognya kak A. Vienna soalnya kurang begitu paham sama penyakit yang pengen gue cobain (?) loljk! Penasaran sama chapter 2 nya gaaak? Nggak ya pasti T_T yaudah deh daripada author banyak bacot tunggu aja chapter 2 di next post;) :p

Minggu, 13 November 2011

Yang Tak Terlihat

Haaaaai gue balik bawa cerpen nih. Okay tanpa basa basi langsung cekidout!

Gemuruh hujan yang menyapu bumi tanpa ampun, menimbulkan riak-riak basah hampir di seluruh sudutnya yang tak bertepi. Menimbulkan suasana yang begitu dingin, yang begitu luruh dengan kesunyian. Mendukung detik-detik keputus-asaan ini.

Aroma karbol, yang menyengat hidung, memerihkan mata, menjadi teman tak bersahabat namun setia sejak entah berapa jam yang lalu. Hingar bingar tak mewah yang sedari tadi terasa, meredup perlahan, meninggalkan tubuh-tubuh yang terikat dalam rasa takut dan kegusaran yang entah dimana ujungnya.

Dalam alunan waktu yang terasa menggebu, meski sebenarnya, biasa saja. Dua anak manusia itu saling diam. Diam dalam rasa diam yang mereka ciptakan. Diam dalam atmosfir bulir-bulir rasa sesak yang menghantui.

Bangku panjang plastik berwarna putih gading itu merekam segala rasa yang mengalir dalam angan keduanya. Jika bisa, bahkan rasanya ia ingin sekedar menegur, agar ada setidaknya, sepatah kata untuk membiarkan malam ini bernada.

“Gue anter elo pulang ya Shil..” ujar si laki-laki, akhirnya menyerah dalam kebisuan yang membelenggunya. Tiba-tiba, dan terlihat agak mengagetkan.

Perempuan itu menggeleng. Tatapan matanya yang kosong, jari jemarinya yang terus ia remas sejak tadi, secuil jiwa yang mencoba bertahan dalam raga yang seolah takmau lagi berirama. “Nggak mau Vin, gue mau tetep disini”

“Tapi dokter kan udah bilang, Rio masih belum bisa ditemuin siapapun”

“Gue mau disini Vin, gue nggak mau kemana-mana” tanpa menoleh, tanpa penekanan, bahkan tanpa tenaga. Hanya kedataran yang lurus dan tipis.

Dan laki-laki itu mengerti, bahkan sekalipun ia memaksa atau malah menyeret gadis cantik di sebelah kirinya ini, ia tetap akan tidak akan bisa membuat gadis itu beranjak. Alih-alih kembali memaksa, tanpa melihat juga, menggunakan tangannya, ia membuat kepala gadis itu bersandar di bahunya. Untuk saat ini saja. Hanya ini. Yang bisa ia lakukan.

Sesaat, gadis itu terkejut, laki-laki ini tidak pernah seperti ini sebelumnya, tidak pernah sehangat ini, ia tahu betul itu. Tapi siapa peduli, tidak ada sedetikpun waktu untuk mempermasalahkan perubahan cepat ini. Ada yang lebih penting dari itu. Ada tubuh kekasihnya di dalam ruangan, di ujung lorong tempatnya duduk saat ini, yang entah bagaimana keadaannya.

***
Kesenyapan, dinding hati yang perlahan memudar, jatuh dan luruh oleh waktu. Meninggalkan pedih yang tak bisa ditinggalkan.
***

Bayang-bayang tetes air mata gadis itu masih menari dengan anggun, memenuhi matanya. Ada sakit lain yang terasa begitu hebat, ini bukan tentang sahabatnya, yang sedang terbaring koma dan entah kapan bisa kembali sadar menyapanya, tapi ini tentang gadis itu. Gadis sahabatnya. Gadis yang ia yakini, lebih dulu ia cintai ketimbang sahabatnya.

“Mas..”

“Mas..ada yang salah?” senggolan halus di punggung tangannya, reflek menarik jiwa-jiwanya yang terlepas tak sengaja berkumpul kembali dalam dirinya.

“Eh, iya kenapa?” tanyanya balik, linglung.

“Itu..” penjaga cafetaria itu menunjuk tangan kanannya, yang baru ia sadari sedang meremas segelas kopi panas yang memang ia pesan tadi.

“Maaf mas, boleh minta dua lagi, yang sama kaya gini, sama roti coklatnya satu”
Setelah mendapatkan apa yang ia pesan, laki-laki itu kembali menyusuri selasar-selasar rumah sakit, dan langkahnya berhenti, pilu, ketika di dapatinya, gadis itu sedang berdiri, mencoba melihat ke dalam ruangan tempat sahabatnya berada.

“Shil..”

Gadis itu tidak menoleh. Ia masih saja meraba kaca di pintu itu, merabanya seolah ia juga bisa meraba tubuh belahan hatinya, yang dari tempatnya berdiri hanya bisa ia lihat ujung kakinya saja.

“Sarapan dulu yuk..” Alvin tidak menyerah. Ia mendekat, menumpukan sebelah tangannya di pundak Shilla. “Rio pasti enggak mau lihat elo sakit..” bisiknya kemudian, percaya bahwa menyelipkan nama itu akan berfungsi baik. Dan benar saja, Shilla langsung menoleh ke arahnya, dan kemudian mengangguk pelan.

Di kursi yang sama, kursi tempat mereka membagi waktu sejak berpuluh-puluh jam yang lalu, Alvin memperhatikan Shilla yang sedang memakan roti coklatnya tanpa ekspresi. Sementara dirinya sendiri, hanya menikmati kopinya, menikmati pahitnya.
Ia mengerti sekarang, mengapa dua tahun ini, ia baik-baik saja, karena gadis itu tetap tertawa bahagia di hadapannya. Tapi sejak kemarin sore, sejak air matanya terus berurai tanpa henti, sejak itu pula, senyap tak terkendali, asap-asap pedih, menyelubungi rasanya. Membuatnya tidak mengerti, apa yang harus ia lakukan.

“Elo nggak makan Vin?”

“Udah tadi, lo aja..”

Shilla tersenyum tipis. Kehangatan ini, ini sama sekali bukan milik seorang Alvin yang ia kenali, Alvin tidak seperti ini. Atau ia yang tidak mengenalnya ?

***
Ku antar engkau ke masa laluku, ketika linang air mata menjadi pemeran utamanya..
***

Dia tidak pernah tahu. Atau lebih tepatnya, tidak ada seorangpun yang pernah tahu. Ada cinta yang sama yang tumbuh untuk perempuan yang sama, di atas persahabatan indah bertahun-tahun ini.

Cinta yang amat sangat klasik. Dua laki-laki mencintai satu orang perempuan. Hanya saja bedanya, tanpa pertaruhan atau perkelahian, keberanian memenangkan salah satunya, dan membuat yang tersisa menjadi sang pecundang.

Alvin masih mengingat semuanya. Rasa kecewa itu, ketika sahabatnya, dengan penuh semangat menceritakan setiap detail yang perempuan itu miliki, yang tanpa pernah Rio ketahui, Alvin telah mengenalnya lebih dulu, telah menyelami setiap incinya lebih dulu, meski dari kejauhan. Dan ketika pada akhirnya, cinta yang sama itu tidak pernah menyapanya meski hanya sekali, melainkan memeluk sahabatnya, ia memutuskan untuk tetap berdiri di tempat yang sama. Tempat yang abadi dan ia yakini takkan mampu di sentuh oleh siapapun..
Kecuali dirinya sendiri..dan Tuhan mungkin.

Di dalam hatinya. Di dasar yang terdalam. Di tempat dimana segala rasa serta asa itu hidup dan padam bergantian. Di letakkan dengan rapi dan terus ia hayati meski dalam diam.

Duk. Duk. Duk. Gema suara bola basket yang berpendar dalam ruangan itu, mengisi setiap lekuk kekosongan yang teramat nyata. Ia membiarkan bola itu memantul dari telapak tangannya ke lantai dan terus seperti itu. Sesekali ia akan melemparkannya ke arah ring, meski jarang sekali ada tembakannya yang masuk berpusar disana.
Setidaknya ini terasa lebih baik. Jauh lebih baik, daripada...

“Alvin..”
Meski mengerti ada suara yang memanggilnya. Ia tidak dengan segera berbalik, meski juga ia mengerti siapa yang memanggilnya. Alvin lebih memilih mengambil dulu bola basketnya yang menggelinding ke ujung ruangan, dan baru berbalik, berjalan mendekat ke arah gadis itu, gadis hujan, julukannya sejak gadis itu tak kunjung berhenti menangis.

“Kenapa Shil?”

“Gue..gue..kangen Rio..”

“Oh..” dengan wajahnya yang datar, dan tatapan matanya yang sejak dulu tak pernah berubah, dingin cenderung tak bersahabat, jawaban bodoh itu terlontar begitu saja. Meski dalam hati, lagi-lagi tanpa siapapun pernah mengetahui, langsung ia sesali saat itu juga.

Tatapan pedih langsung di arahkan padanya dengan sukarela. Shilla menatapnya beberapa detik, menyiratkan ketidak-tahuan, kebingungan, dan tentu saja kekecewaan yang Shilla sendiri tidak mengerti untuk apa, bukankah ia tahu bahwa laki-laki di depannya ini adalah sang pangeran es.

“Maaf Vin..gue pikir, karena elo sahabatnya Rio, jadi elo orang yang paling tepat buat gue ngebagi rasa kangen ini..” ucap Shilla akhirnya, menunduk menatap ujung sepatunya yang terasa lebih bersahabat untuk di pandang. “Maaf..” ulangnya lagi, dan berjalan mundur lantas berbalik.

Alvin memperhatikan bola basket oranye di tangannya, jika ada Rio, ia yakin, bola ini telah melayang ke kepalanya. Hanya Rio, hanya sahabatnya itu yang bisa membuatnya peduli pada sekitarnya. Pandangannya teralih pada punggung Shilla yang telah berjalan semakin jauh dari tempatnya. Gadis itu sedang rapuh dan ia malah tambah membuatnya menjadi hancur berkeping-keping. Pantas saja Tuhan lebih memilihkan Rio ketimbang dia.

Dengan sedikit terburu-buru, Alvin berusaha menyusul Shilla dan kemudian mencekal pergelangan tangan gadis itu. Membuat langkah keduanya terhenti. Membuat degup jantung Alvin tak berjalan sesuai fungsinya. Dan membuat Shilla bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan Alvin.

“M...mmaa..aaf..” dengan amat sangat terbata, kata itu akhirnya dapat terucap juga dari bibir merahnya. “Maaf Shil..” ujarnya lagi, lebih lancar.

“Enggak apa-apa, guenya aja yang sensitif..gue mau ke..”

“Sini aja, temenin gue” potong Alvin, dan kemudian menarik tangan Shilla, tanpa membiarkan gadis itu menyelanya. Ia terus menariknya, hingga mereka berdua tiba di tepi lapangan.

“Duduk disini aja” masih tanpa membiarkan Shilla untuk membuka suara, Alvin telah membuat mereka berdua duduk di bangku, yang memang di peruntukkan bagi supporter ketika ada pertandingan.

“Dia pasti sadar, dia bakalan baik-baik aja..”

“Eh..”

“Rio, dia pasti bakalan sadar buat elo Shil..” sambung Alvin, menatap lurus ke depan, dan bukannya menengok ke arah Shilla di sebelah kirinya. Bukan tidak ingin, tapi ia tidak mau, tidak mau melihat kilat cinta Shilla untuk Rio yang tidak pernah akan ada untuk dirinya.

“Udah delapan hari dia koma, enggak ada perkembangan sama sekali, gue benar-benar kangen hadirnya dia Vin..”

Inilah. Ini yang membuat Alvin akhir-akhir ini entah mengapa memilih untuk menghindari Shilla. Selalu ada yang berdenyut menyiksa hati, ketika kalimat-kalimat rindu bukan untuknya itu tersampaikan dengan sempurna dan tulus.
“Gue juga pengen dia ada disini, bukan elo doang..”

Shilla tersenyum tipis. Ia mengerti, tidak ada yang lain yang sanggup bertahan lama di sisi Alvin. Bahkan terkadang rasa cemburu menggelayuti Shilla, ketika waktu-waktu Rio lebih banyak habis terbuang untuk Alvin meski itu konyol.
Mereka berdua tidak bisa di pisahkan. Shilla tahu betul akan hal itu. Rio dan Alvin, dua sahabat karib yang selalu beriiringan bersama, yang jauh sebelum Shilla masuk dan memiliki salah satunya mereka telah lebih dulu saling melengkapi sebagai sahabat yang berusaha untuk sejati. Dan siapapun juga mengetahui, persahabatan mereka adalah dua kutub yang tak sama, yang berbeda, dan yang tak sejalan.
Sekilas Shilla mencoba untuk memperhatikan Alvin di sebelahnya. Lekuk wajahnya, yang sesungguhnya mampu untuk membius kaum hawa namun tak pernah disadari pemiliknya. Alvin terlalu tangguh dalam bentengnya sendiri, segala sifat angkuh atau apalah itu, yang mungkin hanya bisa Rio yang menyentuhnya.

“Eh Vin..” Shilla menekan-nekan pelan lengan Alvin dengan telunjuknya. “Kacamata lo kemana ?”

Entah sadar apa atau tidak, Alvin meraba matanya, dan kemudian tersadar kacamata bulat berframe hitam yang biasa bertengger disana tak lagi ada.

“Eh..kema..oh..itu ada di tas..” jawabnya baru teringat dimana ia meletakkan barang pentingnya itu.

“Lo bagusan gini deh, mata lo bagus tau” puji Shilla sambil menyelipkan senyumnya yang khas di ujung kalimatnya.

Mendengar kalimat pujian dari gadis ini langsung saja membuatnya kikuk, hingga Alvin hanya bisa tersenyum. Senyum yang aneh. Senyum untuk sebuah hal kecil yang membuahkan kebahagiaan besar di hatinya.

“Kita pernah kenal sebelumnya nggak sih Vin ?” tanya Shilla tiba-tiba. Ia mengayun-ayunkan kakinya, tampak santai, berbanding terbalik dengan manusia di sampingnya.

“Kenal ?” ulang Alvin seolah ingin menegaskan.

“Iya, enggak tahu kenapa, gue ngerasa familiar aja sama elo..”

Alvin menggeleng pelan. “Enggak, perasaan lo doang. Gue kenal elo ya pas Rio ngenalin ke gue”

Untuk beberapa saat, Shilla mengamati Alvin kembali. Entah kenapa, ia tidak sepenuhnya puas dengan jawaban yang baru saja Alvin berikan. Wajah ini, jauh sebelum dua tahun lalu, Rio mempertemukan mereka berdua, Shilla merasa orang ini pernah ada di dekatnya.

Sadar di perhatikan, Alvin menekuni bola di tangannya, cukup ia dan akan selalu seperti itu. Tidak ada yang perlu tahu. Tidak ada yang perlu mengerti. Bahwa dulu, ia pernah menjadi seseorang, yang selalu duduk di kursi depan sebuah tempat bimbingan belajar, hanya untuk menantikan seorang gadis berseragam smp yang akan datang pukul tiga, dan ia juga akan melesat keluar pertama dari kelasnya hanya untuk melihat gadis itu berjalan keluar kelas di tempat yang sama, pukul lima.
“Berhenti lihat gue kaya gitu Shil” tukas Alvin, bukan risih, hanya saja ia merasa kerah seragamnya seperti mengkerut lantas membuatnya susah bernafas, ia tidak ingin gugup mengusainya.

“Hehehe..” tawa renyah yang selama ini hilang sejenak, tiba-tiba saja kembali, membuat Alvin kontan menengok ke arah Shilla. Gadis pelanginya telah kembali, tidak lagi menjadi gadis hujan seperti beberapa hari ini.

“Maaf Vin maaf. Abisan gue bener-bener ngerasa pernah ngeliat lo, sebelum gue jadi ceweknya Rio dan sebelum kita ada di SMA yang sama..”

“Dan itu bukan gue”

“Iya deh iya, enggak usah galak gitu dong..”

“Maaf..”

“Seneng deh gue, hari ini elo udah dua kali gitu bilang maaf sama gue, biasanya kan enggak pernah”

Ingin rasanya Alvin menimpali lagi kata-kata itu, hanya saja ia tidak mengerti, apa yang harus keluar dari bibirnya. Lagipula apa yang Shilla betul juga, selama ini, ia selalu memposisikan dirinya tidak begitu menyukai gadis dengan tipe manja dan ceria ala Shilla. Meski yang terjadi adalah sebaliknya. Dan saat ini, saat ia memiliki kesempatan untuk berdua saja dengan Shilla, ia bahkan tidak bisa memikirkan satu kalimat yang mampu untuk ia sampaikan dan mungkin akan Shilla ingat untuk selamanya, tidak seperti Rio..

Ah ya, Rio..
Mengingat nama itu, tiba-tiba saja seperti ada gelembung-gelembung rasa bersalah tak terlihat memenuhi aliran darah dalam tubuhnya.
Pantaskah ia bahagia saat ini ? saat sahabatnya mungkin sedang bernegosiasi dengan para malaikat-malaikat Tuhan agar bisa tetap bernafas. Bolehkah ?

Dengan ekor matanya, Alvin menangkap gambaran Shilla yang sesungguhnya telah ia ingat di luar kepala. Gadis ini, ia tidak sempurna, sama seperti manusia lainnya. Hanya saja cinta, seperti halnya cinta yang apa adanya, tidak pernah peduli pada siapa ia jatuh dan kemudian tertinggal meski tak dapat termiliki.

***
Dalam diam penantian ini terasa begitu lama, dalam diam, kau takkan kunjung datang..
***

Dengan langkah-langkah besar, ia berlari dan terus berlari, ingin segera tiba, ingin segera tahu apa yang terjadi. Dan ketika akhirnya, kedua kaki itu terhenti tepat di depan pintu, ia malah hanya bisa diam, dan terus diam meski nafasnya terasa memburu, menuntut waktu lebih setelah dipacu dengan paksaan tadi.

Ia bisa melihat dengan jelas. Sangat jelas bahkan. Dan untuk kali ini, ia tidak ingin melihatnya, walau bukan untuk yang pertama kali. Ia manusia, ia punya rasa sakit itu. Pedih itu datang sendiri tanpa undangan dan ia membencinya.
Perlahan, ia mundur, perlahan. Setengah berharap, seandainya ia juga bisa mundur dari segala rasa yang membuatnya seperti ini. Di ambang pintu, ia berbalik, menyelipkan kedua tangan di saku celana jeansnya, seolah tidak melihat apapun, ia berjalan menjauh.
Tidak akan ada waktu untuknya, meskipun ada, itu tetap bukan untuk dia.
**

Kecemasan berpacu dalam jiwanya. Ia hanya bisa berdoa sambil meremas handphone putih di tangannya, setelah beberapa menit yang lalu ia gunakan benda itu untuk menelpon seseorang. Tidak ada lagi air mata, ini sudah hari kesepuluh, mungkin air matanya telah lenyap, lenyap terbawa sejuta takut yang menghantuinya.
Pintu terbuka, dan ia langsung menyeruak maju. Ingin tahu secepatnya. “Gimana dok, gimana keadaan Rio ?”

“Kondisinya telah kembali stabil, meski keadaannya tetap sama....”
Shilla tidak mampu mencerna kalimat-kalimat ilmiah yang dokter jelaskan padanya, yang ia ketahui hanyalah kekasihnya itu masih bertahan hidup meski tak sekalipun membuka matanya. Dan ketika akhirnya ia di ijinkan untuk masuk, Shilla bak seorang anak kecil yang di ajak ke arena bermain, antusias dan penuh semangat.

Ia pandangi wajah Rio. Luka goresan dan lebam kebiruan tidak akan pernah mengurangi ketampanan laki-laki itu di matanya. Rio sempurna, dan akan selalu seperti itu. Tentu saja ia tidak memilih Rio atas alasan fisik semata, ada berjuta alasan lain yang mampu membuatnya takluk dan selalu ingin ada di samping Rio, selalu, kecuali hari itu..
Hari yang seolah merengut sebagian jiwa Rio dan hanya menyisakan tubuhnya yang penuh luka dan secuil nafas yang tak kunjung cukup untuk menatap dunia..

*
Laki-laki itu menatapnya memohon, tatapan yang pernah sanggup untuk ia tampik. Membuat Shilla kesal setengah mati. Sambil melipat kedua tangannya di dada, ia terus bertahan dengan sikapnya, mencoba tidak larut dalam rayuan yang sedang Rio layangkan untuknya.

“Ayolah Shil, sekali ini aja, beneran deh, ini yang terakhir..” rajuk Rio lagi, entah untuk keberapa kalinya.

Hanya untuk hal inilah, Rio akan merengek sedemikian rupa padanya. Karena hanya untuk hal ini saja, Shilla akan menolak mentah-mentah apa yang Rio minta.

“Lagian kenapa kamu jadi over protect gini sih sama aku? kamu kan tahu, ini hal yang aku suka..”

Shilla mendesah pelan. Ia tidak ingin, hal sepele ini menjadi sepercik api yang akan membakar keduanya. “Bukan aku yang jadi over protect Yo, kamu tahu sendirikan, jelas-jelas beberapa hari yang lalu, ada yang kecelakaan parah, dan sekarang kamu minta ijin aku buat balapan motor kaya gini..gimana aku nggak takut..”

Tidak hilang akal, Rio menarik kedua tangan Shilla, memaksa Shilla untuk melihat ke arahnya. Dia paham betul, gadis di depannya ini mengkhawatirkan dirinya, tapi di sisi lainnya, jiwa laki-lakinya, egonya yang besar juga sedang menguasainya erat-erat.

“Aku tahu, kamu khawatir sama aku, tapi aku janji sama kamu, aku nggak akan kenapa-napa, aku cuma akan nge-trak satu putaran dan udah, enggak lagi..”

Kesungguhan dan kemantapan seperti inilah yang tak pernah mampu Shilla hiraukan. Selalu seperti ini. Bila bukan Alvin, maka motorlah yang akan menjadi saingannya untuk mendapatkan kualitas waktu bersama Rio. Miris memang.

“Boleh ya Shil, please..”

“Ya..ya udahlah..” ujar Shilla pasrah.

“Beneran?”

Dengan berat hati Shilla mengangguk dan berusaha tersenyum. Lagipula ini bukan pertama kalinya, Rio akan melakukan hal ini. Tidak akan terjadi apa-apa.

“Makasih ya sayang..” tanpa malu-malu, Rio menggendong Shilla dan kemudian mereka berputar.

“Rio..ihh..aku takut jatuh! Rio!!” raung Shilla, meski ia juga menikmati. Rio hanya tertawa dan malah terus berputar, membuat detik-detik mengalah pada kebahagiaan yang mereka ciptakan. Rio selalu punya cara untuk membuatnya menjadi satu-satunya.

“Udah..udah..turunin..” pinta Shilla lagi, dan kali ini di kabulkan. Rio membuat Shilla kembali berdiri tegak di lantai, dan kemudian, dalam hitungan yang begitu cepat, hanya selewat kedipan mata, Rio mengecup keningnya.

“Aku sayang kamu..” bisik Rio lembut, terasa penuh cinta.

Shilla diam. Ini aneh. Rio terbiasa seperti ini, tapi Shilla bisa merasa ada yang aneh, yang tak biasa kali ini. Sesuatu yang tak mampu ia lukiskan dengan kata-kata, namun terasa begitu kuat di hatinya.

“Heh, kamu enggak sayang aku ya? kok kalimat aku nggak di bales?” tanya Rio pura-pura sewot sambil bertolak pinggang, ketika Shilla hanya menatapnya tanpa berkata apapun.

“Eh..sayang kok sayang..”

“Ih, kepaksa gitu ngomongnya..”

“Aku sayang juga sama kamu Rio, sayang banget”

“Nah gitu dong” ujar Rio puas, lantas menepuk-nepuk kepala Shilla pelan. “Udah ya, aku jalan, kamu mau ikut?”

“Enggak ah, aku nggak mau liat kamu ngetrak, takut..”

“Beneran nih ?”

“Iya, udah sana”

“Ikut aja deh kamunya..” Rio kembali memberikan tatapan memohonnya. Berharap Shilla mau menemaninya kali ini.

“Enggak Rio, aku nggak mau, udah ah sana, katanya tadi udah ditungguin sama temen kamu” tolak Shilla, yang memang tidak pernah mau melihat Rio berpacu cepat di atas motornya. Ia lebih suka menunggu di rumah.

“Tadi enggak di ijinin, sekarang malah ngusir-ngusir”

“Aku enggak ngusir, kan tadi kamu sendiri yang bilang temen-temen kamu udah nunggu disana..”

“Err..iya sih, tapi beneran nih kamu nggak mau ikut?”

“Enggak, kan kamu tahu, aku enggak suka lihat kaya gitu”

“Ya udah deh, aku pergi ya, take care Shil..” Rio tersenyum dan berjalan mundur ke arah motornya yang terparkir di halaman depan rumah Shilla. Sebelum memakai helm, ia tersenyum lagi, dan..
*
Dan itulah senyum terakhir Rio untuknya. Dua jam kemudian, Alvin menjemputnya, dan langsung mengajaknya ke rumah sakit. Sejak saat itu pula, keadaan Rio tetap sama. Tidak ada perkembangan sama sekali.

“Yo, aku kangen..udahan dong tidurnya..” bisik Shilla, sambil meletakkan kepalanya di dada Rio. Berharap ada detak jantung yang berdenyut wajar dan normal, berharap ada tanda-tanda kehidupan disana.

“Sepi Yo enggak ada kamu..aku bener-bener pengen kamu ada disini..”
Shilla mengerti, sekuat apapun ia meminta, Rio tidak akan mengabulkan permintaannya dengan segera seperti biasanya. Hanya Tuhan, hanya Dialah yang mampu membuat segalanya kembali seperti sedia kala, dan Shilla sangat berharap akan hal itu.

Ia menoleh ke arah pintu, rasa-rasanya tadi seperti ada yang berdiri disana. Alvinkah ?
Namun tidak seorang pun. Ruangan itu tetap hanya terisi olehnya dan Rio. Shilla mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, ke sudut-sudut yang sedari tadi menemaninya.
“Aku tahu, dimanapun sekarang kamu, kamu sedang ngawasin Yo, aku tahu, kamu selalu menjaga aku..”

***
Akan kucintau kau dengan sederhana, meski luka yang kau toreh tak pernah sederhana..
***

Hari jumat yang bearawan dan meniupkan angin-angin sore yang menawan. Ini hari kelima belas, ada lima belas bulatan merah di kalender kamar Shilla yang tak pernah absen ia lingkari setiap malam, sepulangnya ia dari rumah sakit.

Ini bukan lima belas hari yang melelahkan, hanya lima belas hari yang mulai membuat harapannya meredup meski ia tak ingin. Meski hanya setitik, ia akan terus mempertahankannya. Dan saat ini, Alvin berhasil membujuknya, sejenak untuk menghirup udara yang segar di taman rumah sakit, dengan segelas kopi hangat di tangan.

Shilla menyeruput kopinya, meski perempuan, ia menyukai kopi hitam tanpa gula. Dan entah bagaimana caranya, Alvin mengetahui itu. Sama sepertinya, Alvin tidak pernah absen selama lima belas hari ini. Bahkan lebih darinya, Alvin malah menjaga dua orang sekaligus, Rio dan Shilla tentu saja.

“Gimana kalau Rio enggak pernah bangun lagi..”

Alvin menoleh. Suara Shilla yang bergetar jelas-jelas memperlihatkan ada tangis yang tersamar dalam kalimat itu. Tidak dengan kata, ia merengkuh kepala Shilla, memeluknya, dan menepuk pundaknya.

“Dia akan bangun, dia nggak akan ninggalin elo, percaya sama gue”

Sesaat Shilla terperanjat, bukan karena kata-kata Alvin, melainkan apa yang Alvin lakukan. Kehangatan yang benar-benar bukan seperti dirinya. Rasa hangat yang mengalir dari ruas-ruas jari Alvin dan tersalurkan dalam tubuhnya. Rasa hangat yang sederhana namun begitu terasa.

“Tapi dia enggak nunjukkin perkembangan satupun Vin, gue enggak sebodoh itu, gue tahu kok kesempatan dia buat sadar lagi enggak sampai tiga puluh persen..”

“Sekalipun gue harus nukerin nyawa gue sama nyawanya Rio, gue rela Shil..”

“Alvin! jangan ngomong sembarangan ah..” sergah Shilla, mengangkat tubuhnya dari pelukan Alvin. Menatap laki-laki di hadapannya yang selalu datar nyaris tanpa ekspresi.

“Kalau gue harus pergi untuk beberapa waktu, lo enggak apa-apa kan Shil, nungguin Rio sendiri?”

“Emang lo mau kemana?”

“Rio pasti pernah ceritakan, tentang rencana gue sama dia buat naik gunung ?”
Shilla mengangguk. Tak ada satupun rahasia di antaranya dengan Rio. Ia tahu semuanya, begitu juga sebaliknya. “Lo mau tetap naik gunung Vin ?”

“Harus naik, itu maunya Rio, gue bakal naik untuk Rio..”

“Kapan?”

“Besok pagi Shil. Lo mau oleh-oleh apa?” Alvin tampak melunak, matanya yang jernih terlihat bersahabat kali ini. Atau ini karena Shilla mulai sering menatapnya?

Shilla berpikir sejenak, lantas ia tersenyum ke arah Alvin. “Gue cuma mau elo selamat, itu aja..”

Alvin mengerti, Shilla mengucapkan ini atas nama persahabatan dan rasa takutnya akan kehilangan. Tapi Alvin juga tak dapat memungkiri, bahagia yang menyeruak pelan dan menambal seluruh masa sepi yang selama ini mengendap.

Dan Shilla sendiri, bukan tidak rela, hanya saja, lima belas hari ini, pundak Alvinlah tempat ia membagi segala duka, kesedihan, air mata, hingga beban-beban yang mencekik tubuhnya. Laki-laki itulah yang menopang segalanya. Yang memberinya kedamaian tak terlihat namun terasa.

Sore itu mereka akhiri hanya dengan diam. Kopi yang mendingin menjadi satu-satunya pelarian untuk membunuh waktu, yang tidak membosankan, hanya terlalu sunyi. Dan ketika akhirnya Alvin mengantarkan Shilla kembali ke kamar Rio, lantas ia sendiri pamit sebentar kepada sahabatnya itu lalu menghilang di balik pintu. Maka Shilla kembali sendiri dalam keremangan kamar.

Yang tiba-tiba saja, terasa begitu sepi. Sepi dalam arti, Shilla mengerti beberapa hari ke depan, hanya akan ada dirinya yang memenuhi kamar ini. Tidak ada Alvin, tidak ada sorot mata dinginnya yang hangat.

***
Doa akan selalu teralun dalam cinta yang tak pernah tersampaikan..
***

Shilla membuka matanya, ketika cahaya matahari itu menyapanya dengan lembut namun mengganggu. Seorang suster yang baru saja membuka tirai kamar tersenyum ke arahnya. Shilla meraih jam tangannya di meja, dan cukup terkejut, melihat angka delapan terpeta disana. Sepertinya ia tidur terlalu pulas.

“Maaf Sus..” ujarnya tak enak, sedikit kikuk.

“Enggak masalah mbak, lagipula ini hari sabtu” sahut suster itu maklum. “Infus mas Rio udah di ganti, saya keluar dulu, kalau ada apa-apa silahkan pencet belnya..”

“Iya Sus..”

Sepeninggal suster itu, Shilla bergegas ke kamar mandi untuk membasuh mukanya dan mengikat rambutnya yang panjang. Merasa lebih baik, ia kembali menemui Rio yang tetap tertidur.

“Pagi Rio, ini hari ke enam belas..dan aku harap ini hari terakhir kamu ngacangin aku dalam tidur panjang kamu ini..” ucap Shilla seperti biasa.

Ia menoleh ke arah sofa, tempat dimana, Alvin biasa menemaninya. Dan kali ini sofa itu kosong tidak lagi ada tubuh putih itu. Tatapannya teralih ke meja kecil tempat ia meletakkan jam tangannya tadi, biasanya disana sudah ada sebungkus roti coklat yang Alvin sediakan sebagai sarapan untuknya, dan mulai hari ini, sepertinya Shilla harus membeli sendiri roti itu.

Sebelum matanya beralih kembali pada Rio, kedua bola mata itu tertumbu pada sebuah amplop putih, yang terlihat menyatu dengan meja itu. Ia meraihnya, membuka dan membacanya..


Gadis pelangi..
Aku ingin menitipkan ini, kenangan yang mungkin tak bernilai dan kau abaikan begitu saja. Tapi bagiku, ini lebih dari itu..ini aku, dalam hidupmu..


Kening Shilla berkerut. Gadis pelangi? benarkah ia yang di maksud oleh entah siapa pemilik amplop ini. Dan keraguannya berubah menjadi kepastian, ketika dari dalam amplop ia menemukan sebuah kartu identitas, miliknya.

Kartu yang Shilla ingat, sebagai kartu absen di sebuah tempat bimbingan belajar yang pernah ia ikuti saat SMP, yang sempat hilang. Dan kini kembali, entah darimana asalnya.

Shilla meraba tulisan di secarik kertas itu, berharap ia dapat mengenalinya, tulisan siapa ini dan apa yang di maksud oleh penulisnya. Tak kunjung mendapatkan jawaban, karena toh dia bukanlah seorang yang ahli dalam hal seperti ini, Shilla hanya mampu memandangi kartu di tangan kirinya dan surat di tangan kanannya.

Bergerak. Shilla menyadari itu, ia buru-buru meletakkan kedua benda di tangannya itu, dan menggenggam tangan Rio. Benar saja, tangan itu bergerak, jari-jari itu terasa menggeliat dalam tangannya. Shilla langsung menekan bel berkali-kali.
Semua terasa terlupakan, yang di nanti, mungkin akan segera kembali.

***
Irama mungkin tak sama. Satu nada menghilang. Tunggu aku di pintu surga, sahabat..
***

Gerimis cukup untuk membasahi payung yang menutupi kedua orang yang sedang berjalan di bawahnya. Langit sendu, sesendu raut wajah laki-laki yang baru sadar bahwa sahabatnya telah pergi, tanpa pernah ia merasakan pamitnya.

Tak ada pusara. Tak ada jejak tertinggal. Hanya kenangan yang terus melekat, meski rasanya menyesakkan. Dan yang pasti, penyesalan, segudang penyesalan.

Payung di letakkan di ujung teras. Rio tampak pilu untuk memasuki ambang pintu yang menganga lebar, seolah menantikannya sejak lama. Ia tahu diri, ini sudah lewat sebulan, dan ia baru datang. Padahal ialah sang sahabat yang selalu di agungkan oleh pemilik rumah ini.

“Semua tahu Yo kamu sakit, semua ngerti kenapa kamu baru datang hari ini” Shilla yang dapat membaca segala cemas dari laki-laki di hadapannya, mencoba menguatkan serta meyakinkan.

“Tapi...”

“Nak Rio?” seorang ibu, dengan selendang hitam yang tak kunjung lepas, sejak berita itu datang, sejak Shilla datang ke rumah ini seorang diri dan menangis tanpa pegangan. Sejak kehilangan itu menyeruak dalam dingin, sedingin ia yang telah pergi.

“Tante, maafin Rio, Rio..” dan tanpa membiarkan Rio menyelesaikan kalimatnya, ibu itu langsung saja memeluk Rio, memeluknya dengan cucuran air mata yang mengalir tanpa henti.

“Alvin Yo, Alvin..dia udah pergi, dia hilang di gunung..dia..”

“Iya tante, Rio tau..”

Shilla hanya dapat menyaksikkan. Rio sendiri sempat marah kepadanya, ketika baru kemarin kabar itu ia sampaikan. Bukan sengaja menundanya, tapi Shilla mengerti, tidak akan mudah Rio menerimanya. Karena ia sendiripun, masih tidak bisa menerimanya.

Setelah tangis yang sarat kehilangan, Shilla menemani Rio yang masih terguncang dalam kesedihannya, menelusuri sisa-sisa yang tertinggal dalam kamar Alvin yang rapi. Dengan kardus di tangannya, Rio memasukkan semua foto dan barang milik Alvin, ia akan membawa semua itu ke rumahnya, sudut kenangannya.

Tidak hanya Rio, Shillapun merasa sesak ada disini. Sesak memikirkan bahwa tubuh itu sempat memeluknya di pertemuan terakhir mereka. Shilla duduk menghadap meja belajar Alvin, membaca judul-judul buku yang ada disana. Ia mengambil satu buku, yang tidak masuk dalam barisan buku lainnya, melainkan tergeletak secara asal, terlihat bahwa mungkin itu buku terakhir yang Alvin baca.

Dilingkupi rasa penasaran, Shilla membuka buku itu, dan alangkah terkejutnya ia, mendapati apa yang terselip di halaman pertama buku tersebut.

Selembar foto, dan itu fotonya. Foto Shilla dalam balutan seragam SMPnya.

“Apa itu Shil?” tanya Rio yang mendekatinya.

Buru-buru Shilla menutup buku itu, dan tersenyum ke arah Rio. “Buku, kayanya bagus, mau aku bawa pulang, boleh kan Yo?”

Rio mengangguk, ia mengacak pelan poni Shilla. “Love you..”

“Love you too..” balas Shilla langsung. Tak ingin kehilangan waktu. Ada banyak hal yang telah mengajarkannya tentang bersukur. Rio kembali menggeledah sisi lain kamar Alvin, dan Shilla hanya memperhatikannya, laki-laki itu, Tuhan telah memberinya mujizat untuk umur yang masih ditambahkan, berkah yang tak ternilai harganya.
Hari yang panjang. Mereka berdua menghabiskan satu hari ini di rumah Alvin atas permintaan Rio yang tentu saja tidak akan Shilla tolak. Dan kini mereka ada di mobil, tepat di depan rumah Shilla.

“Makasih ya Shil, hari ini kamu udah mau nemenin aku..”

“Makasih? ini udah kewajiban aku Yo, kamu enggak perlu bilang makasih sama aku”

“Kamu memang yang terbaik, aku pulang ya..”

“Hati-hati ya, enggak usah ngebut, aku enggak mau kejadian kemarin keulang lagi”
Rio mengangguk mengerti. Shilla turun dari mobil Rio, dan menyaksikan mobil itu melaju perlahan dari hadapannya. Ia bergegas masuk ke dalam rumah, ada yang ingin buru-buru ia baca, yang ingin buru-buru ia ketahui, untuk apa ada fotonya di dalam buku milik Alvin.


***
Namanya Shilla, tapi aku lebih suka memanggilnya gadis pelangi..
Karena pertama kali aku melihatnya, adalah saat pelangi muncul dengan indahnya setelah hujan..
Ia adalah ujung senja yang tak akan pernah dapat ku sentuh..
Ia adalah dermaga namun bukan tempat untukku menepi..
Aku hanyalah semacam rintik hujan yang jatuh..lalu jejaknya segera hilang
Dia istimewa..
dan aku menyukainya, ia alasan untuk waktu-waktu yang diam dalam duniaku
Satu-satunya cara, yang tidak pernah berani ku coba
untuk membuatku sedikit lebih bahagia dari hari ini
adalah menepikan jejak tentangnya..
Ia gadis pelangi..dan aku penikmatnya, bukan pemiliknya..
-Alvin-

TAMAT.

Sabtu, 12 November 2011

Miss Perfect Jatuh Cinta

“kalo Cakka gimana? Ganteng, jago basket, pinter, baik lagi?” seorang cewek dengan gelas lemon tea ditangannya duduk di halaman belakang rumah mewah lengkap dengan kolam renang.

“Cakka? Um… mantannya Agni kan? Not bad sih, but he smoker gue kan suka batuk2 kalo kena asep rokok. suka ngebut-ngebut kalo bawa motor, bahaya donk gue. Bawel lagi, gue pernah tuh nonton sama dia sampe gak konsen waktu nonton diajakin ngobrol terus. selera makannya juga payah, masa dia ngajak gue makan batagor doang waktu ngedate seharian sama gue, emang gue kenyang? Kalo lagi ngelucu juga jayus! Gue kan jadi harus pura-pura ketawa padahal su…”

“op!” Shilla menekap mulut sahabatnya,

“udah lima belas cowok di sekolah yang gue promosiin sama lo hari ini, tapi gak satupun yang lo iyain, ada aja kurangnya mereka di mata lo. Dari mulai Debo anak band yang kata anak-anak gantengnya mirip Dude Herlino jaman SMA, terus Ozy anak paling kaya di sekolah, Deva cowok imut yang manis banget kayak gula jawa sampe Cakka yang cewek-cewek rela ngantri seumur hidup cuma buat jadi ceweknya aja masih bisa lo temuin titik jeleknya. Kalo gini ceritanya lo bisa jomblo seumur hidup. Stop be perfect, girl! Gak ada yang sesempuna yang lo mau! Emang lo mau pacaran sama malaikat?”

“kalo ada malaikat yang bisa jatuh cinta, umm… mungkin gue mau,” Jawab Sivia enteng sambil mengupas jeruk mandarin yang ada di meja dan siap masuk di mulutnya.

“ah, sinting!”

“gue yakin kok ada yang sempurna, seenggaknya dia sempurna buat gue…” jawab Sivia sambil tersenyum simpul .

***

Pagi, Di sekolah

Sivia baru turun dari mobil jaguar hitam mengkilat yang disopiri bapak-bapak yang lumayan tua sekitar umur 58 tahunan. Pak Amin sopir pribadi Sivia. Sivia anak tunggal keluarga Budiman, papanya pemilik hotel mewah di daerah Jakarta timur dan Mamanya designer baju pengantin terkenal. Dari kecil apapun yang ia mau selalu bisa dia dapetin. Nilai plus selain dia kaya Sivia juga cantik, pintar dan modis. Tapi itu semua bukan jaminan dia gampang dapetin cowok. Selain sifat sok perfect yang udah mendarah daging, karena keperfectannya itu juga para cowok jarang ada yang betah dan justru ngerasa minder duluan sama Sivia.

Percaya gak sih? Cewek serba sempurna ini udah jomblo selama 16 tahun 11 bulan 3hari,
Ya bulan ini dia genap 17 tahun, tapi masih aja jomblo. Sedangkan si Shilla sahabat dekatnya udah gak keitung berapa kali ganti cowok. Dari yang kurus agak-agak gemuk sampe gemuk banget udah pernah dia punya. Dari yang sipit sampe matanya kayak bola pingpong juga udah pernah ngerasa jadi pacarnya.

“Via…” sapa ramah cowok yang baru turun dari motor CBR merahnya.

Sivia cuma tersenyum biasa,, sambil dalam hati dia berpikir

“siapa ya?”

dan tak lama mengindahkan pertanyaan itu diapun cepat-cepat menuju kelasnya.

“Gila masih sepi? Masa sih gue dateng kepagian nih,” katanya sambil membating tas di kursi nomer dua dari depan.

Seorang cowok di sudut ruangan dengan buku tebal tertulis MATEMATIKA sesekali menoleh kearah Sivia tanpa seucap katapun keluar dari mulutnya.

“umm… gue kira gak ada orang,” Kata Sivia pelan dan tak mendapat respon apapun dari si cowok kayaknya lebih tertarik pada buku paket di tangannya itu daripada Sivia.

umm… Al… Alfan atau Revin ya. Duh, gue lupa deh namanya. Abisan tuh anak kalo duduk di pojok belakang mulu sih, gak pernah ngobrol pula sama gue, gimana gue inget. Tapi jutek banget sih? Perasaan di sekolah gak ada deh cowok yang ngelewatin ngasih gue ucapan selamat pagi atau minimal nyapa gue kalo liat gue. Ini sih gue dianggurin aja sama dia kayak gelas kosong! Rutuk Sivia kesal dalam hati.

“jam pertama sampe ketiga kosong, ada rapat. Yang laen udah pada cabut,” katanya tanpa menoleh ke arah Sivia dan ngeloyor pergi sambil menyangkutkan tas ke sebelah bahunya.

Grrrrr !! Nih orang Jutek amat ! Ngomong gak pake ngelirik gak pake senyum! Omelnya dalam hati
“terus lo mau kemana?”

Sivia ikutan mengambil tasnya dan mengikuti langkah-langkah lebar cowok itu dengan setengah berlari,
“duh jalannya cepet banget sih?”

Dug!

Si cowok ngerem mendadak dan Sivia yang ada di belakangnya terpentuk bahu lebarnya. Dia menoleh dan lagi-lagi not responding gak ngomong apa-apa.

“lo kok gak jawab sih? Lo mau kemana? Masa gue sendirian di kelas? Pantesan ya sekolah pada sepi. Kok gue sampe gak tahu ya hari ini ada rapat?”

“lo ikutin gue nanti juga tahu gue kemana. Pengumumannya tadi pagi-pagi, lo telat!” katanya masih belum melihat ke arah Sivia.

Sivia masih mengikuti di belakang cowok yang namanya aja dia gak inget itu.

***

Dia berhenti di pelataran parkir sekolah. Motor aneka jenis mejeng di sana. Si cowok berhenti di depan sebuah Ninja hitam.

“umm… Re…Revin ?”

“Alvin,” katanya membenarkan perkataan Sivia yang salah mengucap namanya, masih dengan muka irit ekspresi.

“sori, iya maksud gue Alvin. Lo mau kemana? Kok ngambil motor? Terus gue gimana? Tiga jam pelajaran kan lama, masa gue di sekolah sendirian gini?”

“lo gak sendirian, siswa yang laen banyak yang di kantin kok.”

“hhh… maksud gue…”

“lo mau ikut?”

Yup!

Akhirnya nawarin juga.

“gak takut rambut lo berantakan gara-gara naek motor? Make up lo luntur kena angin? atau baju lo berantakan?” tanyanya sinis.

Sumpah ya! Nih cowok benci sama gue ato gimana sih! Kutuk Sivia dalam hati jengkel.

“lo mau ikut sama cowok yang namanya aja lo gak inget?” sambungnya bikin Sivia tambah jengkel.

“ya udah sih? Gak boleh ikut juga gak papa!” Sivia pergi dengan muka kesal meninggalkan cowok itu.
Si cowok mulai memperhatikan Sivia dari belakang dan tersenyum penuh arti .

***

Jam istirahat,

“Via, masih marah lo? Gue kan lupa gak nelpon lo tadi pagi abisan gue kira lo udah tau. Terus emang lo tahu dari siapa tuh akhirnya?”

“dari malaikat pencabut nyawa!” jawab Sivia kesal

“weiz! Gila lo! Nona muda ini lagi ngambek beneran toh. Gantinya gue traktir lo es campur deh di kantin?”

“lo gak tahu sih, penderitaan gue tadi tiga jam pelajaran. Gue lumutan di kantin sekolah. Tiga gelas jus tomat, empat jus jeruk dan dua es kelapa bikin gue kekenyangan karena BT. Udah cowok-cowok pada ngeliatin gue gak penting gitu. Udah lo ngacir ninggalin gue sama Rio cowok baru lo itu!”

“oke I’m so sori Miss,” Shilla masih coba membujuk sahabatnya.

“parahnya gue dicuekin sama Alvin!”

“hah?! Alvin?!”

“kaget gitu lo! Kayak abis keselek sandal jepit! Iya itu dia yang ngasih tahu gue hari ini sampe jam ke tiga ada rapat. Tapi sumpah ya… ”

“sumpah Via lo untung banget!”

WHAT??!

Hati Sivia teriak gak rela.

“untung dari Bangkok! Untung apanya dudul?!”

“Alvin… lo bisa ngobrol sama dia…”

Shilla mulai mengguncang-guncang tubuh sahabatnya itu,

“dia tuh Mr. cool and cuek seantero sekolah…”

EMBEEER…!! EMANG BENER!! MR. CUEK PLUS CUEK SEANTERO SEKOLAH!! Kalo yang ini sih Sivia mengiyakan!

***

Siang hari, di depan gerbang sekolah,

“hai Via,” cowok keren dengan jaket hitam dan duduk di motor Ninja hijaunya mirip punya Alvin, dia membuka kaca helmnya.

“hai,” jawab Sivia malas.

“gue mau lo jadi cewek gue,” katanya kemudian, tanpa basa-basi dan masih duduk di motornya,
“yuk ikut gue?”

Hah , Gila nih cowok! Dateng-dateng maen tembak aja? Gak punya basa-basi. Dan seinget Sivia dia baru sekali deh ketemu cowok ini.

“lo siapa?”

“gue Gabriel , anak 3IPA2. Mau jadi cewek gue kan?”

Asli sinting! Gak punya basa-basi banget, Sivia bingung bukan maen. Ehm, mungkin karena tampang si cowok lumayan keren, oke keren banget! Bikin Sivia ngedadak bingung. Mau diiyain, masa sih? Baru sekai ketemu kali, gak mungkin. Kalo ditolak sayang dong kalo ternyata nih cowok beneran cowok idaman.

“tapi, gue gak kenal sama lo, mana bisa gue jadi cewek lo?”

“kalo gitu, kita jadian aja nanti juga lama-lama lo kenal kan sama gue?”

Motor Ninja hitam dengan pengendaranya yang pakai helm mendominasi warna hitam dan jaket coklat tua lewat tepat di depan mereka.

Alvin … bisik Sivia dalam hati.
“gak ah, gue gak mau!” kata Sivia tiba-tiba.

“kenapa?”

“ya, karena itu tadi. Gue belum ngerasa kenal sama lo. dan buat gue pacaran dan lain-lainnya semua butuh proses. Gue gak mau asal pacaran sama orang. Gue harus kenal luar dalem sama orang itu dan gue harus yakin dia sayang gue dan gue sayang dia. gue gak mau nantinya gue ato lo sendiri nyesel sama keputusan yang serba cepet-cepet itu.”

“semua bisa diatur,” jawabnya simpel dan sekarang turun dari motornya sambil membuka helmnya.

Sumpah cakep banget! Pekik Sivia dalam hati.

Tapi kok dia gampang banget sih minta gue jadi pacarnya? Tanpa proses PDKT gitu? Gue yakin banget nih dengan modal tampang kerennya banyak cewek yang terbengong-bengong ngeliatin dia.

“diatur?”

“ya, asal lo mau dulu jadi pacar gue.” Kata si cowok masi dengan tampang sok PDnya

“tapi gue gak mau! Gue bukan cewek gampangan,” kata Sivia agak kesal karena si cowok pantang mundur.

“oke, gue tunggu!”

“tunggu?”

“ya, gue tunggu lo mau jadi pacar gue. sekarang lo gue anter pulang?”

“gak usah, tuh sopir gue udah jemput,” Sivia langsung berlari kecil menuju jaguar hitamnya.

***

Di kamar Shilla, hari minggu sore

“Gila lo ya? Lo di tembak cowok ganteng pake nolak?”

“lo tau dari mana dia ganteng?”

“tadikan lo yang cerita, Miss Perfect lo mau nyari yang gimana lagi sih?”

“gak tau kenapa gue gak yakin aja. Gue rasa dia maen-maen sama gue. Masa baru kenal baru ketemu malah gue sama dia, dia udah maen nembak gitu?”

“mungkin udah lama dia meratiin lo?”

“dramatis…!” Sivia nyengir sambil meneguk sirup jeruknya.

“terus Alvin gimana?”

“umm… kayaknya hari itu pertama dan terakhir kalinya gue ngobrol sama dia? di kelas dia gak pernah nyapa gue lagi.”

“jadi lo pengen Alvin nyapa lo? wah, ati-ati lo Vi,” kata Shilla menyenggol pinggang Sivia dengan sikunya sambil mengedipkan mata .

“not now, girl!” kata Sivia sedikit tersenyum.

***

Udah tiga hari dengan sekarang, si cowok keren dengan nama Gabriel itu udah di cuekin Sivia abis-abisan masih aja bersikeras. Sampe Sivia kepaksa dateng ke sekolah agak telat dari biasa supaya gak ketemu dia, kalo istirahat langsung ngacir ke kafe yang agak jauh dari sekolah bareng Shilla cuma supaya gak ketemu Gabriel . Pulang sekolah pun dia selalu nyuruh sopirnya dateng lebih cepat biar gak pake nunggu terus diajak ngobrol Sivia. Dan parahnya sekarang hari minggu dia harus ngungsi di rumah sahabatnya soalnya si Gabriel maksa minta maen ke rumah Sivia, kepaksa bohong mau jenguk nenek yang lagi sakit.

“hm… ngomong-ngomong nih, gue punya lo nomer handphonenya Alvin,” Shilla berbisik tepat di telinga kanan Sivia, Sivia Cuma mengernyitkan alisnya.

“gak penting! Lo pake bisik-bisik emang siapa juga yang bakal denger orang disini cuma ada kita berdua kok.”

“ya emang gak penting, tapi butuh gak lo?”

“hah butuh?” Sivia terlihat memasang wajah heran, “dapet dari mana?”

“yey, nanya juga? Kata lo gak penting.”

“Cuma nanya.” Jawab Sivia sambil senyum-senyum

***

Di kelas setelah bel pulang berbunyi, di kelas Cuma tinggal Shilla, Sivia dan Alvin yang masih merapihkan buku-buku mereka bersiap pulang.

“ayo dong Shill, gue nebeng ya?”

“gue kan udah bilang gue gak di jemput. Gue mau nonton sama Rio, dia bawa motor, lo mau duduk dimana?”

“yaelah, masa gue ketemu si Gabriel sih?”

Gini nih, gara-gara sopir kesayangan kena demam. Tadi pagi terpaksa Sivia nebeng Shilla berangkat sekolah yang rumah mereka masih satu perumahan. Dan sekarang pak Amin masih harus istirahat dan gak bisa jemput Nona manisnya pulang. Sivia bener-bener pusing setengah mati, karena pasti cowok yang namanya Gabriel udah ada di depan gerbang nungguin dia.

“lo lagian kenapa sih? Gabriel gak buruk-buruk amat kok. Sekali-kali jalan sama dia kenapa sih? Ganteng, kaya, bae, dan yang penting dia tergila-gila ama lo!”

“gue gak mau!”

“iya kenapa? Keadaan darurat nih. Lo mau naek mobil angkot? dua kali naek angkot dan harus naek ojek pula, siap lo?! anak mami kayak lo yang ada nanti nyasar lagi kaya dulu. Udah lo pulang bareng Gabriel aja.”

“ya udah deh,” jawab Sivia pasrah.

***

Benar 100% di depan gerbang Gabriel udah setia nunggu sang pujaan hatinya. Tapi aneh gak sih? Dari pertama Gabriel nembak Sivia dia belum pernah sekalipun bilang dia sayang atau minimal suka sama Sivia? Dia Cuma selalu bilang Sivia buat mau jadi ceweknya?

“baru pulang?” sapa Gabriel ramah, Sivia cuma mengangguk,

“gak dijemput “ kata Sivia pelan.

“nah kan, berarti sekarang saatnya. Gue anter lo pulang, hm… gimana kalo jalan-jalan dulu ke mall atau ke mana gitu? Mau ya? Katanya mau lebih kenal sama gue? Kalo lo ngehindar terus kapan kita jadiannya?” katanya sambil tersenyum manis khas cowok ganteng yang menjejerkan gigi putih rapinya itu.

“kali ini… boleh,” Sivia berusaha tersenyum.

“Great! Let’s girl!” katanya memberikan helm standar ke Sivia dan duduk di motornya,

“pegangan ya cantik…” tambahnya sebelum motornya jalan dengan cepat.

Mungkin bener kali Gabriel gak buruk-buruk amat … ucap Sivia dalam hati.

***

Gabriel mengajak Sivia jalan-jalan keliling mall, sampai sore gak kerasa udah datang. Sekarang mereka sedang menikmati makanan di food court di dalam mall.

“enak?” Tanya Gabriel ramah di sela suapan makanannya.

“ya,” Sivia sempatkan melirik ke arah Gabriel, ya ampun matanya ngeliatin gue terus…

Gabriel ganteng amat sihh! Kata Sivia buat yang kesekian kalinya.

“nanti anterin gue ke toko buku bentar mau gak Via? Gak mau juga gak papa sih.”

“hm… mau ngapain?”

“hm… beli sayuran,” katanya sambil nyengir,

“ya cari buku lah,” sambungnya setengah tertawa.

Tanpa sengaja senyuman ikut tersungging dari bibir mungil Sivia .

“cantik kalo senyum,” Gabriel agak berbisik, muka Sivia mendadak merah dan dia Cuma bisa pura-pura gak dengar.

Setelah makan merekapun menuju toko buku yang letaknya tak jauh dari food court tadi. Sivia memilih beberapa novel di sana Gabriel lebih tertarik dengan buku-buku berbau computer.

“kalo ada yang suka beli aja, biar sekalian gue beliin,” kata Gabriel sambil menatap lembut ke arah Sivia.

Kalo gini ceritanya , Sivia lama-lama bisa tergoda nih…

Sivia cuma tersenyum dan kembali serius dengan tumpukan novel di depannya lagi. Sivia sesekali menatap Gabriel,

“apa dia si perfect itu?” tanyanya lembut dalam hati.

Gabriel masih serius dengan buku-buku komputernya, Sivia sesekali tersenyum kecil melihat wajah Gabriel yang serius kayak gitu tambah gimaaaaaanaaaaaaa gituuuuuu…?

Sivia memutar pandangannya lagi dan …..

STOP!

Berhenti pada sosok cowok tinggi dengan celana abu-abu dan kemeja putih khas anak SMA, dengan topi warna coklat tua di tempat buku dongeng anak-anak.

Alvin…

Tanpa sadar Sivia berjalan pelan ke arah pemandangan itu. Di sampingnya Gabriel yang gak sadar karena terlalu serius dengan buku komputernya, gak ada yang menghentikan langkah Sivia mendekati Alvin.

“Vin…” Sivia menepuk pelan punggung yang lebar dan tentunya terlihat jauh lebih tinggi darinya.

Si cowok menoleh, masih dengan muka pelit ekspresi tapi keliatan banget dia ganteng gitu loh… matanya menatap Sivia sebentar dan kembali dengan buku yang dia pilih-pilih sejak tadi tanpa membalas sapaan Sivia tentunya.

“nyari buku apa sih?”

Loh Sivia gak marah di cuekin? Kayaknya dia diantara sadar dan gak nih.

Alvin menoleh lagi dan menunjukan buku kecil tipis bertuliskan SNOW WHITE,

“cari buku dongeng,” akhirnya ada suaranya, “sama siapa?” Tanya Alvin kemudian.

Hoi, Sivia melupakan Gabriel!

“pacarnya nyariin tuh,” katanya menunjuk Gabriel yang mulai mondar-mandir kayaknya emang lagi nyari Sivia.

“dia bukan pacar gue kok… gue…”

“Sayang, udah dapet?” seorang cewek tinggi , berambut panjang , dengan pakaian yang sederhana tetapi terlihat amat manis , datang dengan senyum manisnya . Dia terlihat cantik , dan sepertinya seumuran Sivia juga.

Tapi …….

Tadi dia barusan panggil Alvin apa ? sayang??
SAYANG??

Hati Sivia mendadak ngerem berdetak, gak tau kenapa?!

“banyak nih,” katanya menunjukan sekantong penuh buku dongeng anak-anak.

“oke, good job! Hm… siapa nih?” tanyanya ke arah Sivia .

“Siv…”

“temen, temen sekelas gue.”

Belum sempat Sivia menyebutkan namanya Alvin udah langsung motong kata-katanya.

Emang dasar gak sopan!

“udah yuk bayar deh di kasir, udah sore nih,” kata Alvin meninggalkan Sivia tanpa pamit.

Sumpah deh Vin ! Lo gak sopan banget sih ma gue! Kata Sivia kesal dalam hati

***

Alvin udah punya pacar , Alvin udah punya pacar …

Berkali-kali dan gak tahu kenapa tiap ngeliat Alvin yang duduk di pojok belakang pikiran itu selalu mampir di otaknya Sivia. ‘

“lo kenapa sih?” Tanya Shilla setelah bel pulang berbunyi nyaring.

“hm… kayaknya gue terima aja deh si Gabriel,” kata Sivia gak semangat.

“wow! Ada apa nih? Lo gak berhasil nemuin kejelekan Gabriel? Lo udah nobatin dia jadi Mr. Perfect lo? akhirnya lo punya pacar juga, tapi kok ngedadak Vi?”

“iya… abisan… Al…”

huft!

Jangan bego Sivia! Hampir aja kelapasan nyebut nama Alvin…

“Al?Al apa?”

“ah gak, gue gak jadi ngomong, lupa gue mau ngomong apa.”

“ya udah deh, selamet aja buat lo! gue balik duluan Via,” katanya keluar kelas sendirian dan meninggalkan Sivia, sendiri oh tidak masih ada Alvin di pojok sana. Alvin tuh aneh deh dateng sekolah paling pertama pulang paling belakangan.

“belum pulang Vin?” Tanya Sivia ragu-ragu.

Alvin meletakkan bukunya dan melihat kearah Sivia, lalu menggeleng.

“kenapa?”

“nunggu lo pulang dulu,” katanya cuek dan kembali asik dengan bukunya, gak tau deh buku apaan yang pasti tebel-tebel gak jelas gitu deh.

Apa?

Jantung Sivia berdetak cepat gak karuan mendengar jawaban konyol Alvin.

“maksudnya?” Sivia mencoba tenang dan gak keGRan dulu.

“gak,” katanya lagi.

Duh!

gak jelas nih Alvin!

“ya udah deh gue duluan,” Siviapun keluar kelas duluan.

Walau masih memikirkan omongan Alvin tadi di kelas, Sivia gak bisa ngapa-ngapain . Di gerbang ada Gabriel tapi Sivia malah ngebatalin niatnya buat nerima Gabriel, dia Cuma tersenyum dan menuju mobil jaguarnya. Dia duduk di samping bangku pengemudi. Gak beberapa menit kemudian Ninja hitam motornya Alvin melintas tepat di depan mobil Sivia.

“Pak, ikutin motor itu dong,” pintanya dan diikuti sopirnya,

“tapi pelan-pelan aja, pokoknya jangan sampe yang bawa motor tau lagi diikutin.” Perintahnya diikuti anggukan sopirnya.

***
Lima menit kemudian,

“ini rumah Alvin? Banyak banget adenya Alvin ” katanya heran ketika melihat banyak anak kecil langsung menyambutnya dengan ciuman dan pelukan ke Alvin

“bukan Non, ini panti asuhan,” kata Sopirnya menjelaskan.

“panti? Jadi Alvin anak panti?”

“mau masuk Non?”

“gak deh Pa, puter balik aja! Kita pulang.”

***

Besok harinya di sebuah tempat yang terasa asing oleh Sivia. Ini tempat partynya Gabriel dan teman-temannya. Acara ulang tahun salah satu teman Gabriel , tapi Gabriel malah sibuk sama teman-temannya dan Sivia ngerasa dicuekin.

“nyesel gue ikut!” katanya kesal tanpa ada yang mendengar karena suara music rock yang mendominasi.

“Gabriel! Gue mau pulang!” kata Sivia buat yang kesekian kalinya.

“apa?” dan kata Gabriel yang kesekian kalinya juga.

“dasar budeg!”

“toilet? Di sana di pojok, bisa ke sana sendiri kan?” katanya tanpa benar-benar meratikan Sivia.

Aarrrgh , Nyebelin Nyebelin !!

Karena kesal Siviapun pergi meninggalkan pesta yang lebih mirip tempat aneh! Di luar dia celingukan dan bersiap nelpon sopirnya minta jemput.

“tiiiin tiiiin…!” Motor ninja hitam berhenti tepat di depan Sivia.

“ngapain disini malem-malem?” Alvin membuka helm dan turun dari motornya.

“bunuh diri!” jawab Sivia asal.

“lagi kesel? Pacarnya mana?” Sivia cuma diam.

Gak kayak biasanya deh cara ngomong Alvin , agak lembut dan mau menatap Sivia.

“mending pulang deh, gue anter?”

Gak bisa bohong dan gak tahu jelasnya kenapa Sivia seneeeeng banget denger tawaran dari Alvin di tambah bonus senyum manis Alvin yang baru pertama dia liat.

Alvin bukan yaa…? Tanya usil hati Sivia

“emang tau rumah gue?”
“naek aja,” kata Alvin sudah diatas motornya lagi.
Malu-malu Sivia melingkarkan tangannya di pinggang Alvin . Sambil sesekali senyum dan berharap Alvin gak bisa liat dia senyum-senyum sendiri.

***
Sepuluh menit kemudian sudah sampai di rumah mewah dengan jaguar hitam mejeng di halaman depan dan motor ninja Alvin diparkir gak jauh dari situ. Setelah meminta pembantunya membawakan dua sirup jeruk dingin. Gak nyangka bisa berduan gini di teras depan bareng Alvin, bisik Sivia dalam hati. Tapi dia kan udah punya pacar Via?! Tiba-tiba Sivia agak tersentak mendengar antara pikiran dan perasaannya mengobrol.

“tadi sore gue kerumah lo, mau nganterin dompet lo jatoh di kelas tadi,” Alvin mengeluarkan dompet warna pink dari tas saku jaketnya,

“tapi lonya udah jalan sama Gabriel.”

“oh, kenapa gak dititipin ke orang rumah?”

“takut ilang,” untuk kesekian kalinya Sivia tersenyum.

“nih ambil, periksa ada yang ilang gak?” katanya menyerahkan dompet Sivia.

“hm… terus tadi lo kebeneran lewat ya? Bisa kebeneran banget ya ketemu gitu di jalan tadi?” Sivia mulai salting tapi Alvin masih stay dengan gaya coolnya.

“sori, tadi gue ngikutin lo. gak tau kenapa gue cemas aja.”

APA?? CEMAS??

Dua kali Alvin ngucapin kalimat yang bikin Sivia jantungnya mau copot, yang pertama itu loh yang di kelas waktu mau pulang sekolah.

“makasih ya,” kata Sivia pelan.

Alvin senyum…! Senyum lagi! Maniiiis banget! Lebih manis dari yang pertama!

“hm… Vin gue boleh nanya gak?”

“apa?”

“sebelumnya gue juga sori, pernah ngikutin lo beberapa hari lalu.”

“gue udah tau,” jawab Alvin simpel.

Aduh ketauan dong!?

Sivia mendadak diam, Alvin marah gak ya?

“terus mau nanya apa?”

“lo… um… itu…”

“ya, gue anak panti,” seolah Alvin tau apa yang akan diucapkan Sivia,

“gue cuma lebih beruntung dari mereka. gue diadopsi waktu umur dua tahun. Kenapa? Gue anak jalanan, lo jijik sama gue?!”

“ya ampun Alvin … bukan, bukan gitu. Sumpah! Gue malah kagum banget sama lo… gue…” dan Sivia gak melanjutkan kata-katanya.

“apa?” wajah Alvin mulai dingin lagi.

“umm… terus…?”

“terus apanya? Kalo mau besok gue ajak lo ke sana. Itu juga kalo lo gak jijik liat anak-anak jalanan itu.”

“iya gue mau, mau banget!”

***

Besoknya, di parkiran sekolah.

“bawaan lo banyak banget? Apaan aja tuh?”

Sivia tersenyum, “iya dong, gue sengaja belanja tadi pas istirahat sama Shilla , buat yang di panti. Waktu itu lo beli buku cerita anak-anak buat mereka kan? Nah, gue beli banyak makanan nih buat mereka juga.”

“makasih ya,” Alvin mengusap lembut rambut Sivia, Sivia jadi tersipu malu sendiri.

***

Baru setengah perjalanan tiba-tiba rombongan motor lain mengepung motor Alvin.

“turun Lo!” pinta cowok gemuk dengan tato seram di lengan kirinya.

“bentar ya Via,” Alvin turun dan membuka helmnya.

Tinju tepat mengenai perut Alvin, Alvin gak mau kalah dan menyerang orang gemuk itu dengan tenang. Dia hebat juga, walaupun perawakannya tinggi dan lebih kurus dia bisa bikin si gemuk kewalahan. Tapi belum cukup sampai situ teman-teman preman itu turun dan memukuli Alvin bergantian sampai Alvin mulai boyok.

“heh kalo berani satu-satu lo! mana sih boss lo!” Alvin masih kokoh berdiri dengan luka di dahi dan hidungnya yang mengeluarkan darah.

Sivia masih terbengong-bengong, gak tahu harus ngapain, ada dua preman yang ngejagain dia supaya gak macem-macem. Sivia takut banget dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Vin… gue takut!” akhirnya dia berteriak, dan Alvin menoleh ke arahnya.

“sebentar ya?” katanya lembut dengan senyum khas Alvin yang selalu berhasil bikin Sivia gak karuan.

“gue bossnya!”

“Gabriel!” Sivia teriak kearah cowok yang baru dateng dengan motor ninja hijaunya.

“lo keabisan cewek sampe mau ngerebut cewek orang!” Tinju Gabriel berhasil di hentikan Alvin.

“ini yang namanya pacar? Sayang lo sama Sivia? Lo bikin dia ketakutan disana sama anak buah lo? lo bikin dia nangis?”

Sekarang gantian tinju Alvin yang melayang ke wajah Gabriel. Gak sepuluh menit kemudian Gabriel udah babak belur dan gak satupun anak buahnya yang mau bantuin dia. muka Alvin yang mirip orang kesetanan beda banget sama Alvin yang Sivia liat di sekolah. Setelah puas bikin Gabriel babak belur dia menelpon ambulans dan mendekat kearah Sivia

“sori,” katanya pelan sambil mengelap darah di keningnya. Sambil menangis Sivia mengeluarkan tisu dari saku bajunya, dan membersihkan lukanya,

“Sori ? buat apa? Harusnya gue bilang makasih . Asal lo tau , tau lo buat gue khawatir setengah mati tau gak . .” kata Sivia masih terisak.

“maaf …… , maafin gue karena bikin pacar lo kayak gitu. Tapi tadi gue udah telpon ambulans, lima menit lagi pasti sampe sini.” Kata Alvin sambil mengelus kepala Sivia

Sivia memeluk Alvin erat-erat…

***

Di panti asuhan,

Sivia dan di bantu beberapa ibu panti membersihkan luka Alvin . Alvin Cuma sesekali menjerit sakit dan bilang sakit dengan gaya manja ke ibu pantinya. Baru tau Alvin bisa manja juga, Hati Sivia agak tertawa.

“ibu bilang apa? Jangan cari masalah, pake berantem segala!” Ibu panti masih sabar mengobati luka-luka Alvin.

“dia yang duluan kok. Aku kan cuma bela diri, Bunda. Lagian masa ada orang nantangin aku kabur gitu? Gak keren banget sih,” kata Alvin mirip anak kecil.

“kalo ini siapa Alvin? Dari tadi kok kamu gak kenalin ke Bunda? Pacar kamu ya?”

“hm… itu Sivia …” dan Sivia tersenyum.

“cantik, pinter Ka Alvin cari pacar!” teriak seorang anak kecil yang duduk di sofa samping Alvin.

“hah! Bawel kamu Ray!”

“ya ampun kenapa lagi nih si Alvin?” seorang cewek cantik masuk dan langsung duduk di samping Alvin berbaring.

“sakit lah,” kata Alvin cuek.

What ??

Itukan cewek yang gue liat di toko buku kemaren !

“berantem lagi kamu sayang?” tanyanya lembut.

“iya nih Ka Acha berantem lagi, Ka Alvin nakal banget!” kata anak kecil yang tadi namanya Ray.

“hai, ketemu lagi,” katanya ramah ke arah Sivia.

Sivia tersenyum pias,

Cemburu!

Orang itu bahkan udah akrab dengan orang-orang di panti…

***

Sore hari, Masih di panti, Alvin tertidur di sofa.

Alvin lucu banget kalo lagi tidur. Kayaknya perban-perban di mukanya gak berhasil bikin Alvin jadi jelek di mata Sivia. Dia tetep ganteng kok! Malah tambah manis. Cewek yang namanya Acha udah pulang duluan, anak-anak panti sibuk main di halaman. Jadi di ruangan itu cuma ada Alvin dan Sivia.

Sivia melirik jam dinding yang menunjukan pukul lima sore,Sivia memutuskan buat pulang sendiri aja. Gak enak bangunin Alvin. Lagian dia perlu istirahat. Setelah menatap Alvin, Sivia terseneyum dan berdiri bersiap pergi.

Tapi….

“tunggu…” Alvin meraih tangan Sivia masih dengan posisinya yang tertidur di sofa,

“mau kemana?”

“pulang.”

“udah di jemput?”

Sivia menggeleng, “kebeneran Pak Amin lagi nganter Papa ke bandara, Papa mau ke Surabaya sekarang.”

“terus?”

“naek taksi.”

Alvin mengubah duduknya masih memegangi tangan Sivia dan memintanya duduk disampingnya.

Alvin pelan sambil menatap Sivia dalam-dalam..

“Aku sayang kamu ….”

“Apa?” Sivia kaget bukan maen!

“iya, kalopun kamu izinin aku jadi pacar kamu izinin aku buat bisa jagain kamu,” Alvin menatap mata Sivia lebih dalam.

“kok kamu brengsek sih!!” Sivia setengah teriak dan membuat kaget Alvin dengan responnya.

“Brengsek?” katanya menatap Sivia bingung.

“pacar kamu, Acha mau kamu kemanain?”

“pacar?”

Air mata Sivia malah menetes tanpa permisi.

“dia kembaran aku, tapi waktu kami diadopsi dulu kami terpisah,” Alvin menghapus lembut airmata Sivia,

“kami mirip kan?”

Sivia memeluk Alvin lembut, dan Alvin mengusap kepala Sivia.

“Aku mau bisa ngelindungin kamu…” sambung Alvin berbisik lembut di telinga Sivia.

“aku juga sayang kamu… sayang banget…”

Alvin mengangkat lembut wajah Sivia dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya makin mendekat ke wajah Sivia. Sivia mulai memejamkan matanya lembut.

Tapi…

“KAK ALVIN, RAY GAK BISA TURUN DARI POHON MANGGA!!!” terdengar teriakan mahadahsyat punya Ray tepat sebelum bibir Alvin berhasil mendarat mulus di bibir Sivia.

Ada-ada aja nih! Sial deh! Kutuk Alvin dalam hati, dan menoleh ke arah jendela yang langsung terhubung dengan pohon mangga. Wah ternyata banyak yang ngintip di jendela. Asli, sial banget sih! Kutuk Alvin kedua kalinya.

Sivia cuman bisa tersenyum menahan tawa melihat mulut Alvin manyun karena ngambek .Dalam hati Sivia bersyukur akhirnya dia bisa menemukan Mr. Perfect baginya , cowok yang sempurna baginya . sekaligus cinta sejatinya ..

***THE END***


*gunting pita* yeeeeyyy ada salah satu cerpen nih, dari siapa ya lupa haha-_-v
okay, I'll be back with another story. *huazeg :p