Sabtu, 12 Mei 2012

FF/For The Last Time/MinHee/Straight/1S

Title : For The Last Time

Author : @FirliWirany

Main Cast : Choi Minho, Lee So Hee

Support Cast : Lee Gi Kwang

Genre : Romance, Fluff nyaris angst (?)

Rating : G

Length : One Shot

A/N : FF request-an si durjanah alias Dwi Septiani. Sesuai dengan biasnya bang Minho, jadilah ini…abis itu dia pengen genrenya yang sedih, terus juga yang straight dan namanya yeojanya milih sendiri, aduh sumpah ini anak mangkak yah hahaha so this is for you, my nappeun dongsaeng :p


##########

Minho POV

Incheon, 10 April 2000

“Halo…siapa namamu?” seseorang menepuk bahuku pelan, aku menoleh dan mendapati seorang yeoja manis berambut pirang sebahu tengah tersenyum kearahku. Ah yeppeo~ Dia amat manis dalam balutan sweater ungu dengan paduan skinny jeans berwarna hitam sebatas lutut, serta sepatu sneakers cokelat sebagai alas kaki jenjangnya yang mulus. Yeoja itu mengulurkan tangannya “Namaku Lee So Hee, dia sepupuku…Lee Gi Kwang. Kau?”

Disebelahnya terdapat bocah laki-laki yang asik berkutat dengan PSP-nya. Dia hanya berucap ‘annyeong’ pelan tanpa minat mengalihkan perhatian dari PSP yang dia mainkan. Yeoja manis bernama Lee So Hee itu berpaling menatapku “Mian, dia memang begitu. Jadi, siapa namamu?”

“Minho, Choi Minho.”

. . . . . . . . . .

Seoul, 13 Juni 2002

Aku mematut diri di depan cermin. Memandangi hal baru yang melekat pada tubuhku. Kemeja putih serta blazer hitam sebagai pelapisnya, juga dasi bergaris putih dan cokelat yang bertengger sekenanya di kerah. Melirik untaian poni yang masih apik berada di kening…menyibaknya pelan. Hmm, tampan. Salah jika memuji diri sendiri?

Beralih meraih tas pundak hitam berisikan buku pelajaran yang sebenarnya kubenci, namun tetap harus dibawa walaupun membebani pundak. Yah bagaimanapun statusku, aku pelajar yang artinya masih berkewajiban untuk belajar. Melangkahkan kaki ke garasi, memacu Ninja Hitam kesayanganku untuk menerobos lalu lintas kota Seoul di pagi hari.

.
.
.


Menghela nafas saat ban motorku melewati pintu gerbang yang untungnya masih terbuka. Memarkirnya di tempat parkir tak jauh dari aula sekolah, kemudian bergegas menuju kelas. Aku menatap dua sosok manusia yang tak lahi asing. Salah satunya tersenyum manis dan melambaikan tangan, sedang satunya lagi menyembunyikan sebelah tangannya kedalam saku celana sembari mengunyah permen karet. Gi Kwang menatap swatch yang tampak pas di pergelangan tangan kirinya, berpaling menatapku lagi.

“Kau terlambat,” katanya tepat di depan wajahku begitu aku tiba. Walaupun dengan tampang dan acting yang jelek, dia tidak lupa melayangkan high-fivenya kepadaku.

“Ah mian, aku kesiangan..”

“Kumaklumi jika kau telat bangun, tapi setidaknya jangan di hari pertama sekolah…kau tahu?”

“Ah kalian…sudahlah, jangan bertengkar seperti bocah. Lupa jika sudah berada di tingkat menengah eum?” suara lembut khas So Hee menghentikan adu mulut kami. Lucu sebenarnya, karena yeoja manis itu jarang sekali melerai kami jika sedang bertengkar…namun kali ini? Dia tidak demam kan?

Gi Kwang mengarahkan punggung tangannya ke kening So Hee. Sepertinya ada kontak batin diantara kami “Kau…apa kau sedang sakit?”

‘Pok!’

Pfftt..

Tas selempang berwarna hijau toska itu mendarat dengan sentosa di pipi Gi Kwang…yang kemudian disambut dengan tawa lepas dariku dan So Hee.

“Jangan main-main denganku, arra? Itu baru dibagian kening, apa mau yang lain?”

Aku dan Gi Kwang saling berpandangan, tersenyum geli melihat tingkah laku teman wanita kami. “Kau lebih menyeramkan dibanding monster, So Hee!”

. . . . . . . . . .

Seoul, 26 November 2005

Gi Kwang asik memutar bola oranye yang kini berada di jari telunjuknya. Bola itu kemudian dia lemparkan ke ring…gagal. Oh ayolah seorang kapten tim basket Season High tidak bisa melakukan shot dari arah 2 meter? Kurasa guru olahraga kami tidak teliti dalam menentukan pilihan.

“Jadi, sudah menentukan target?” ucapnya saat bola oranye itu masuk tepat sasaran setelah dia melakukan slam dunk, keren…aku mengakuinya. Baiklah, kutarik lagi ucapanku.

“Ne! Aku menargetkan jika lulus dari sini akan melanjutkan ke Universitas Seoul, maka dari itu diharuskan untuk lebih fokus dari sekarang.” So Hee yang menjawab pertanyaan sepupunya, yang disanggupi dengan anggukan kepala dariku. Inilah yang selalu kami rundingkan tiap menuju akhir tahun. Menargetkan ke sekolah mana yang akan kami tuju setelah ini, agar dapat mempersiapkan segalanya dengan matang. Seperti tiga tahun lalu saat kami duduk dibangku sekolah menengah, ditargetkan untuk dapat bersekolah di Season High. Dan dengan persiapan yang cukup, kami bertiga berada disini. Yah, kami memang berada di tingkat 2 sekarang…lalu apa salahnya jika mempersiapkan sekolah tujuan dari awal?

“Untuk cadangan, aku memilih untuk ke Universitas Daegu dan Hansook.” Gi Kwang menambahkan, dan lagi-lagi aku mengangguk. Yah, selama aku bersama mereka aku akan mengikutinya.

So Hee berdiri dari bangku penonton yang kami duduki, beralih mengambil bola oranye yang—lagi-lagi— gagal dimasukkan ke dalam ring oleh sang kapten. Bolehkah aku setuju dengan ucapanku dari awal?

“Hei kapten! Mau bertanding denganku?”

“Boleh. Siapapun yang kalah, sebagai taruhan…harus membelikan sup kimchi milik Joon ahjusshi. Ottae?”

“Baik, baik. Kau ini cerewet sekali~ Minho yang jadi wasitnya, oke?”

Aku mengangguk. Hmm…walaupun aku menyukai olahraga, mungkin di bidang memantul-mantulkan bola kemudian terbang melayang kearah ring—basket— aku lemah. Tapi jika sepak bola? Mari bertanding! Akan kutunjukan kemampuanku kekeke~

Permainan mereka sudah berlangsung selama sepuluh menit, selama itulah kedua bola mataku terus memandang yeoja manis yang kini melakukan aksi shot. Bukan aku memihak padanya dan membiarkan dia menang lantas Gi Kwang kalah, tentu saja dalam olahraga itu tidak sportif…dan aku tahu So Hee juga tidak bermain curang. Tapi entahlah, rasa nyaman menyelimuti sepasang mataku saat melihat dia yang bersemangat. Saat dia berteriak senang ketika tembakannya masuk, juga menggerutu lucu saat bolanya meleset atau berpindah tangan pada sepupunya. Yang kusuka adalah, dia tidak mempedulikan posisinya…sedang untung maupun rugi, menang atau kalah, dia mengabaikannya. Meskipun dia harus mengeluarkan uang jika kalah, namun dia melakukannya dengan senang hati. Tidak menunjukkan ambisi untuk menang ataupun rasa takut jika dia kalah. Ekspresi wajahnya seolah berkata ‘Ini hanya permainan dan diciptakan untuk bersenang-senang’ kurang lebih seperti itu.

Tanpa sadar, kedua sudut bibirku membentuk selengkung senyum…selalu tersenyum jika sedang menatapnya. Menatap mata sipitnya yang berbinar indah, helaian rambut pirangnya yang terbang kesana kemari, juga senyuman maut yang masih sama saat pertama kali kami bertemu. Aneh? Mungkin. Gi Kwang selalu berkata jika aku ini aneh. Tapi So Hee selalu mencela dan membelaku dengan berkata ‘Gi Kwang itu sepupuku yang aneh, jadi kau jangan mempercayai perkataannya yang mengolokmu jika kau aneh. Karena dia itu orang aneh yang terlalu gengsi untuk menyadari bahwa dirinya sendiri juga aneh’. Selanjutnya? Adu mulut antara dua sanak bermarga Lee itu tak dapat dihentikan. Jika sudah begitu aku hanya bisa tertawa, walaupun tingkah mereka yang aneh—menurutku, namun mereka tetap sahabatku. Sudah lima tahun aku mengenal mereka, ya pertemuan pertama saat di bandara Incheon waktu itu.

Dan lamunanku buyar saat suara berdebum yang cukup keras menyapa gendang telingaku. Detik berikutnya aku menatap lurus kedepan, dimana So Hee tergeletak sambil memegangi perut dan Gi Kwang yang berjongkok disampingnya. Dengan sigap, aku berlari kearah mereka…dan memandang So Hee yang meringis kesakitan.

“So Hee noona, gwaenchana?” Gi Kwang tampak panik, dia mengguncangkan tubuh So Hee pelan.

“Hyung, apa yang kau lakukan pada sepupumu ini heh?!”

“Ani, aku tidak melakukan apapun padanya!”

“Apa kau menyikutnya?”

“Aniooo! Kau menuduhku?!”

Kali ini aku mengabaikan ucapan Gi Kwang. Beralih menatap kearah So Hee yang masih meringis, meminta sedikit penjelasan. Ah apa yang terjadi? Belakangan ini So Hee selalu mengeluh saat perutnya sakit. Kami mengira mungkin hanya masalah wanita yang selalu kedatangan tamu bulanan…tapi ini terlalu sering!

“Uhm…na gwaenchana.”

“Apa kau yakin? Mau kuantar ke ruang kesehatan?”

“A-ani. Sepertinya maagh-ku kambuh…mengingat tadi pagi tak sempat sarapan karena Umma berangkat terlalu pagi.” ucapnya sambil menyunggingkan senyuman kecil yang disambut helaan nafas lega dariku dan Gi Kwang.

Aku dan Gi Kwang membantunya berdiri, “Kau membuat kami takut, noona. Baiklah, ayo ke kantin. Sebagai gantinya aku akan membelikanmu sup kimchi-nya Joon ahjusshi hehehe.”

. . . . . . . . . .

Seoul, 20 Juni 2006

“Annyeong, So Hee noona~” seruku begitu aku masuk ke dalam kamar serba putih, kamar tempatnya beristirahat selama enam bulan ini.

Dia tertawa kecil, menggerakkan tangannya bermaksud menyuruhku untuk duduk di dekat ranjang. “Annyeong Minho-goon,”

“Aku membawakanmu buku Astronomi, Biologi, Matematika dan eum…Bahasa Inggris. Kau ingin mempelajari apa?” aku menumpahkan buku-buku pelajaran dari dalam tas hitam. So Hee tampak memilah-milah, dan matanya berbinar saat menemukan sesuatu yang dia suka.

“Astronomi!”

“Arraseo, kita mulai nee~”

Tanpa buang waktu, segera menerangkan dan mengajarinya segala yang kuketahui layaknya seorang guru. Fuh…untung saja dia tidak memilih Matematika karena aku cukup bodoh untuk yang satu itu. Dan semangatku kembali berkobar saat melihat senyum merekah terlukis jelas di bibir pucatnya, menandakan bahwa keadaannya sedang baik. Meskipun aku tahu rasa sakit yang ada di dalam tubuhnya sangat menyiksa. Miris saat melihat So Hee yang sangat aktif dalam kegiatan Cheers, sekarang harus terbaring lemah diatas ranjang. Sejak didiagnosa memiliki tumor di perut Desember lalu, segala aktivitasnya dikurangi. Tiga bulan pertama dia tak diperbolehkan untuk keluar rumah sakit, setiap hari selalu disini…dan hanya belajar dari buku yang aku maupun Gi Kwang bawakan. Yah meskipun sepupunya itu hanya membawa komik, tapi setidaknya bagus untuk hiburan.

Melihatnya yang berteguh hati dan tetap bersemangat untuk melaksanakan ujian tingkat akhir meski dalam keadaan kritis, membuatku semakin kagum padanya. Atau semakin suka? Entahlah, kedua perasaan itu sulit dibedakan. So Hee tetap bertekad untuk masuk Universitas Seoul bersama dengan kami bertiga, membuatnya mati-matian belajar giat setiap malam dan mengabaikan rasa sakitnya. Ambisinya untuk sembuh luar biasa besar.

“Minho…apa kau akan datang minggu depan?” suara lembutnya seperti membelaiku, menyadarkanku dari lamunan. Aku menolah dan mendapati mata sipitnya yang berwarna cokelat itu menatapku lekat. Ah…matanya indah.

“Ngg.. minggu depan? Ada apa dengan minggu depan?”

“Aigooo, apa kau lupa tanggal berapa minggu depan eummm?”

Aku berpikir sejenak, “Minggu depan itu eum…tanggal 27? Hari itu dimana akan dilaksanakan ujian masuk Universitas kan? Tentu saja aku datang!”

So Hee berkacak pinggang, “Ck…bukan tanggal 27, tapi 26! Apa kau lupa jika temanmu ini ulang tahun eum?!”

Dengan spontan, aku menepuk kening. Uh, Choi Minho pabbo! Bagaimana bisa lupa?! Ck, baka!

“Ah mianhae noona, maaf~ Aku...aku hanya terlau serius memikirkan ujian masuk Universitas hehehe.” Aku membela diri untuk penyangkalan, sungguh…aku benar-benar lupa!

“Begitu ya? Sampai lupa jika minggu depan ulang tahunku?” So Hee merengut, mem-pout-kan bibir tipisnya…uh, kyeoptaaa >< “Ne, mianhae kalau begitu. Aku pasti datang nanti, tenang saja~” “Yaksok? Awas kau jika lupa lagi!” ucapnya dengan nada mengancam, yang jelas-jelas mengundang tawaku. “Yaksok~” . . . . . . . . Tiga hari berlalu semenjak kunjungan terakhirku pada kamar So Hee. Sekarang tanggal 23, tiga hari menuju ulang tahunnya dan empat hari menuju ujian masuk Universitas. Hari ini aku datang membawa modul berisikan soal-soal yang mungkin ada dalam ujian nanti. Aku membawa tiga buah, karena Gi Kwang juga akan datang. Kakiku berhenti di depan pintu bercat putih dimana terdapat nomor kamar 222 VIP. Aku membuka kenop pintu tersebut dengan perlahan, mengintip dan mendapati Gi Kwang sudah ada di dalam. Kemudian suara lembut So Hee terdengar memohon. "Gi Kwang, aku ingin mengatakan sesuatu...mungkin sedikit terdengar konyol. Bolehkah?" "Ne~" "Aku...sejujurnya dari dulu aku menyukaimu. Eum...nae namjachinguga dwaeojullae?" DEG

Jantungku seakan berhenti berpacu. Aku mencerna kalimat yang So Hee lontarkan dengan perlahan, memastikan jika dia benar mengatakannya atau hanya sekedar ilusi. Seperkian detik aku mengerjapkan mata, sadar bahwa ini bukan ilusi…ini benar-benar terjadi. So Hee menyatakan cinta pada Gi Kwang, sepupunya! Tidak seharusnya aku mengetahui ini.

Sesaat sekujur tubuhku mati rasa. Aku tak dapat berpikir jernih, tak ada satupun terbesit dipikiranku selain pergi…menjauh dari tempat ini. Tanpa menutup daun pintu yang dibiarkan terbuka sedikit, aku berlari melintasi lorong panjang rumah sakit. Mengabaikan modul yang kubawa terjatuh entah kemana, aku sungguh tak peduli. Yang kuinginkan sekarang hanya pergi, menghilangkan rasa sakit yang baru pertama kali kurasakan. Jantungku seakan ingin keluar dari ronggga dada. Nafasku berhembus tak beraturan dan langkah kakiku semakin cepat setiap detiknya. Sialan, kenapa rasanya begitu sakit? Kenapa tidak menghilang tiap bersamaan dengan langkah kaki yang menjauhi tempat perkara tadi?

. . . . . . . . . .

Seoul, 26 Juni 2006

Aku hanya duduk bersila diatas ranjang. Diam. Menatap datar nanar ponsel layar sentuhku yang bergoyang heboh entah sudah berapa kali, aku tak dapat mengingatnya. Yang tertera pada layar tersebut hanya dua nama; So Hee dan Gi Kwang. Dua sanak itu terus meneleponku semenjak tadi pagi, namun tidak satupun panggilan yang kujawab. Entahlah, aku juga tidak mengetahui alasannya. Hanya saja…sejak tiga hari lalu ada perasaaan perih yang mendalam di dadaku saat membaca nama mereka. Seakan mataku akan terbakar jika membacanya. Ani, seperti ada iblis yang memerintahkanku untuk tidak merespon apapun. Dan bodohnya, aku bagaikan budak yang selalu menuruti perintah sang iblis…meskipun disebelah sisi hatiku ada lubang yang menganga lebar, menandakan rasa bersalah.

“Minho,” pintu terkuak dan wajah Umma muncul dari ambang pintu.

“Hmm?”

“Tadi Gi Kwang meneleponku…dan dia menanyakanmu, Minho. Apa kau tidak ingin pergi ke rumah sakit? Hari ini ulang tahun So Hee kan?”

Dan perih itu kembali menyerang saat Umma menyebutkan kedua nama mereka…iblispun mulai menguasaiku.

“Aku takkan datang,”

“Eh? Waeyo? Biasanya kau takkan melewatkan hari ulangtahun temanmu yang satu itu. Kau dapat menemani So Hee yang sedang sakit.” Umma mencoba menjelaskan, dan aku mencibir.

“Aku akan belajar untuk menghadapi ujian besok. Lagipula Gi Kwang dapat menemani sepupunya dengan baik, tidak perlu membutuhkanku kan?”

Dan tanpa protes lagi, wajah Umma menghilang dari balik pintu. Menyisakanku seorang diri dengan perih yang semakin menjadi-jadi.

. . . . . . . . . .

Seoul, 27 Juni 2006

Aku berjalan melintasi lorong panjang ini lagi. Lorong yang kutinggalkan selama empat hari. Jantungku berpacu kembali, memompa kakiku untuk melangkah lebih cepat. Sampai di ujung lorong, aku dapat mendengar isakan dari beberapa orang. Sekerumunan orang itu berkumpul di depan kamar yang selama sembilan bulan ini hampir setiap hari kumasuki. Perasaan perih itu tergantikan oleh rasa aneh yang membuncah di dada…memaksa ingin keluar. Perlahan aku menyelinap dalam kerumunan itu sambil menguatkan hati dan berharap, bahwa kegiatan mencuri dengar dari Umma di telepon tadi pagi hanyalah lelucon.

Kekuatanku berdiri runtuh begitu saja saat melihat pemandangan dihadapanku. Sebuah tubuh ramping tergolek tak berdaya, wajahnya yang dulu berseri…kini pucat pasi. Sepasang mata sipitnya tertutup rapat, padahal aku berharap dapat terbuka lagi. Bendungan airmata kini telah luluh, meleleh melewati kedua pipiku. Cairan itu seperti mencabik permukaan kulitku, membuka luka baru sebelum yang lama terobati. Dingin, kaku seperti es. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya…dia selalu hangat dan ceria bagaikan bunga musim semi yang indah.

Menarik nafas pelan, menguasai emosi yang bergejolak tak menentu sebelum berkata lirih “So Hee..”

“Noona, ini aku…aku Choi Minho. Jeongmal mianhae aku tidak datang kemarin, aku hanya terlalu serius memikirkan ujian laknat itu. Padahal aku sudah berjanji sebelumnya ya? Ah…ternyata aku bukan pemegang janji yang baik.”

Menyeka airmataku dengan punggung tangan, “Noona, apa kau akan marah? Andwae…jangan marah padaku~ Bisakah kau membuka matamu? Bisakah kau bangun sebentar dan berkata bahwa kau tidak marah padaku?” Demi apapun aku orang terbodoh di dunia ini, berbicara dengan mayat sama saja gila. Ya, Choi Minho adalah orang gila.

Aku menunduk, menatap lantai yang bahkan menertawaiku. Kurasakan seseorang menyentuh pundakku, aku menoleh.

BUGH!

“Kenapa kau tak datang kemarin, Choi Minho?” aku mengelus sudut bibirku yang berdarah, suara baritone Gi Kwang menyapa telingaku setelah memberiku ‘sambutan’

“Aku…aku hanya terla—

“Kau hanya apa? Hanya apa, hah?! Kau adalah orang teridiot, Choi Minho! Padahal kemarin adalah waktu yang tepat untuk So Hee menyatakannya padamu!”

"Aku menaikkan sebelah alis, bingung dengan maksud namja bertubuh maskulin itu. “Menyatakan apa? Dia menyukaimu kan? Dia mengatakannya padamu empat hari lalu kan?!”

“Itu hanya sandiwara! So Hee hanya berlatih denganku karena dia gugup! Lagipula, memang diperbolehkan cinta dengan saudara kandung? Think!”

Dia menunjuk pelipisnya dengan telunjuk sembari menahan geramannya. Aku terdiam. Membeku. Dan kini jantungku seperti tertusuk panah yang ujungnya terdapat racun mematikan, sakit…sakit sekali.

“So Hee menunggumu hingga pukul 2, kau tahu? Dan saat itulah kondisinya melemah. Dokter Jung bilang jika ini sudah mencapai batasnya, tim medis juga tak dapat berbuat banyak. Kau ini kenapa, Choi Minho? Ada apa dengan otakmu? Jika kau tak dapat menerima dan marah karena So Hee menyatakannya padaku, kau dapat datang sebagai sahabat kan? Apa kau tidak memikirkan jika ini adalah ulang tahun terakhirnya yang dia rayakan bersama kami, hah?! Aku tak menyangka…kau begitu idiot.”

“M-ma-maaf hyung. Aku minta maaf..”

“Ucapkan kata maafmu itu pada So Hee! Ucapkan kata maafmu pada yeoja sekarat yang keras kepala ingin menunggumu hingga pukul 2! Ucapkan kata maafmu pada sepupuku yang saat ini tak dapat membalasnya! Ucapkan, Choi Minho!” air mata Gi Kwang tumpah seketika, mengalir bersama emosi yang dia tumpahkan semuanya kepadaku…membuatku semakin terpuruk dalam jurang terdalam. Teringat kembali kalimatku kemarin, ‘Lagipula Gi Kwang dapat menemani sepupunya dengan baik, tidak perlu membutuhkanku kan?’ Fatal sekali.

. . . . . . . . . .

Aku berlutut beralaskan tanah basah. Tubuhku kaku seakan tak berdaya. Perlahan, rinai tangisan bumi mulai membasahi pakaian yang kukenakan…mengalir bersamaan dengan airmataku. Aku diam. Hanya diam. Dan terus diam. Kata-kata laknat yang kubenci seumur hidup. Bunga lily putih kesukaan So Hee ikut merunduk layu, seakan merasakan keperihan yang sama.

Disaat seperti ini, pikiranku kembali melayang…membayangkannya yang selalu berada di sisiku. Aku baru menyadari…betapa aku merindukan suara lembutnya, kerlingan lucu dari kedua mata sipitnya, tawanya yang mebahana, juga senyuman maut itu. Betapa aku merindukan kebahagiaan yang dia berikan setiap harinya, sekarang aku benar-benar merasa sendiri.

Aku menaruh lily putih pada pusara yang terukir namanya. Dan membiarkan hati ini kembali merasakan perih mengingat nama itu lagi. Lee So Hee. Yeoja manis yang selalu hadir di tiap mimpiku. Yeoja yang amat kucintai meski dia belum atau bahkan tak sempat berbicara.

Satu tarikan nafas, berjanji dalam hati aku akan melupakan rasa perih itu dengan segera. Aku takkan mengingat kenangan tidak menyenangkan itu lagi. Baiklah, aku tak seharusnya mengingat lagi. Aku meraba nisan seolah memangku kepalanya yang sedang tertidur. Ya, tertidur dalam waktu yang sangat panjang…entah kapan dapat kembali bangun. Lalu dengan sebuah senyuman, aku menghela nafas. Mengucapkan kalimat yang belum sempat kuucapkan.

“Saengil chukkae nae Lee So Hee, saranghaeyo…jeongmal.”


END


Muahahaha akhirnya selese juga ya bok! Gue terinspirasi dari FFnya kak Nicky yang udah lama banget, tapi beda dong ceritanya hahaha tau gak gue bikin ini lembur sampe jam 1 loh #deardiary hahaha canda. Oke, so bagaimana? Jelek? Hahaha biarkan, ini efek galau yang ditularin si durjanah lewat sms. Hey, nih pesenan lo udah gue bikinin yaaa. Hope you like it!

Ps : mintanya kan yang sedih, tapi kalo gak sedih ya mianhae. Tapi kalo sedih yaudah, beli tissue sendiri ya kkkk~ *evil laugh*